Rabu, 06 Februari 2013

Etnografi, Antropologi, Pengertian, Metode, Penelitian, Contoh, Komunikasi, Definisi, Studi

Artikel dan Makalah tentang Etnografi, Antropologi, Pengertian, Metode, Penelitian, Contoh, Komunikasi, Definisi, Studi, Antropologi - Kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis, selalu berkembang seiring dengan pola perilaku manusia yang terus menerus berubah. Perubahan-perubahan perilaku manusia, baik disengaja atau tidak, telah membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia termasuk didalamnya adalah kebudayaan manusia itu sendiri. Jika kita renungkan sejenak mengenai bagaimana potret kehidupan masyarakat Indonesia pada masa lampau, sepuluh tahun yang lalu misalnya, tentu sangat berbeda dengan pola kehidupan yang sekarang, bukan? Coba Anda teliti kira-kira apakah yang berubah pada kehidupan masyarakat di sekitar Anda selama sepuluh tahun terakhir?

Sebagai contoh, mungkin sepuluh tahun yang lalu alat komunikasi yang dipergunakan masyarakat di sekitarmu tidak seperti yang sekarang? Mungkin juga, alat transportasi yang menjadi andalan masyarakat luas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan yang sekarang, ataupun sistem pemerintahan yang diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan sekarang, dan seterusnya.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut, pada hakikatnya telah menunjukkan terjadinya perubahan kebudayaan. Pengamatan yang kita lakukan untuk membandingkan kondisi kebudayaan masyarakat di sekitar kita sepuluh tahun yang lalu dengan kebudayaan masyarakat yang sekarang merupakan contoh dari penelitian sederhana yang berkaitan dengan kebudayaan manusia.

Nah, tidak sulit kiranya bagi para siswa SMA untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan. Hasil penelitian tersebut, jika dituangkan dalam bentuk karangan atau uraian merupakan deskripsi mengenai kebudayaan masyarakat yang disebut etnografi.

A. Pengertian Etnografi

Istilah etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphy yang berarti tulisan. Jadi, pengertian etnografi adalah deskripsi tentang bangsa-bangsa. Beberapa pendapat ahli antropologi mengenai pengertian etnografi sebagai berikut.
  1. Menurut pendapat Spradley dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi adalah kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan.
  2. Menurut pendapat Spindler dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi adalah kegiatan antropologi di lapangan.
  3. Menurut pendapat Koentjaraningrat (1985), isi karangan etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa.

Cara untuk melakukan studi tentang etnografi, bukanlah hal yang mudah karena berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh anggota suatu suku bangsa. Padahal ada suku bangsa yang anggotanya sangat banyak bahkan mencapai jutaan penduduk. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi yang menulis tentang sebuah etnografi tentu tidak mampu mencakup keseluruhan penduduk anggota dari suku bangsa yang besar tersebut dalam deskripsinya. Dalam penulisan etnografi, pada umumnya seorang peneliti membatasi objek penelitian dengan mengambil salah satu unsur kebudayaan yang diteliti pada sekelompok masyarakat tertentu.

Misalnya : meneliti sistem kesenian tradisional masyarakat daerah tertentu, meneliti tentang macam-macam upacara adat yang berkembang dalam masyarakat di suatu daerah. Jika daerah yang dijadikan objek pengamatan terlalu luas pada umumnya peneliti membatasi dengan mengambil bagian kecil dari daerah tersebut yang dianggap dapat mewakili keadaan di seluruh daerah pengamatan. Misal: untuk mengamati adat istiadat masyarakat suku Jawa diambil daerah penelitian pada masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Klaten – Surakarta yang dianggap dapat mewakili keseluruhan perilaku khas orang Jawa.

Pada zaman sekarang memang tidak mudah untuk memperoleh daerah yang penduduknya hanya dihuni oleh suku bangsa asli, apalagi jika penelitian dilakukan di kota besar atau desa yang memungkinkan hadirnya kaum pendatang menetap di daerah tersebut.

Dalam penyusunan sebuah karangan etnografi, kita dapat menggunakan tahapan sebagai berikut.

1. Pemilihan lokasi penelitian

Menurut J.A. Clifton dalam bukunya yang berjudul Introduction to Cultural Anthropology, batasan lokasi yang akan dipergunakan sebagai penelitian sebagai berikut.

a. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih.
b. Kesatuan masyarakat yang terdiri atas penduduk yang mengucapkan satu bahasa atau satu logat bahasa yang sama.
c Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu daerah politik-administratif.
d. Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas penduduknya sendiri.
e. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisik.
f. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi.
g. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang sama.
h. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekuensi interaksinya satu dan lainnya merata tinggi.
i. Kesatuan masyarakat dengan susunan sosial yang seragam atau homogen.

Dalam karangan etnografi, lokasi pe-nelitian yang telah ditentukan perlu di deskripsikan. Deskripsi lokasi penelitian mengenai hal-hal berikut.

a. Ciri-ciri geografis, yaitu mengenai iklim (misal: tropis, sedang, mediteran, dan kutub), sifat daerah (misal: pegunungan, dataran rendah, dataran tinggi, kepulauan, rawa-rawa, hutan tropikal, sabana, stepa, gurun, dan sebagainya), keadaan suhu rata-rata dan curah hujan.
b. Ciri-ciri geologi dan geomorfologi yang berkaitan dengan kondisi tanah.
c. Keadaan flora dan fauna.
d. Data demografi yang berkaitan dengan kependudukan. Misalnya mengenai: data jumlah penduduk, jenis kelamin, laju natalitas, mortalitas, dan data mengenai migrasi atau mobilitas penduduk.
e. Catatan tentang asal mula sejarah terbentuknya suku bangsa (penduduk di lokasi pengamatan tersebut).

Untuk melengkapi deskripsi mengenai lokasi penelitian perlu dilengkapi dengan peta-peta yang memenuhi syarat ilmiah. Peta-peta tersebut melukiskan keadaan lokasi penelitian.

2. Menyusun kerangka etnografi

Setelah lokasi ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah menentukan bahan mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa di lokasi yang dipilih tersebut. Hal itu merupakan kerangka etnografi. Penelitian etnografi merupakan penelitian yang bersifat holistik atau menyeluruh, artinya penelitian etnografi tidak hanya mengarahkan perhatiannya kepada salah satu atau beberapa variabel tertentu saja. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan.

Unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang dapat dijadikan sebagai kerangka etnografi sebagai berikut.

a. Bahasa. 
b. Sistem teknologi. 
c. Sistem ekonomi. 
d. Organisasi sosial.
e. Sistem pengetahuan.
f. Kesenian.
g. Sistem religi.

Keseluruhan unsur-unsur di atas bersifat universal, artinya semua kebudayaan suku bangsa pasti terdapat unsur-unsur tersebut. Mengenai urutan mana yang menjadi prioritas penelitian dari keseluruhan unsur kebudayaan tersebut bergantung sepenuhnya kepada peneliti. Namun, sistem urutan yang biasa dipergunakan dalam studi etnografi diawali dari hal-hal yang bersifat konkret menuju ke hal-hal yang paling abstrak. Dalam hal ini unsur bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling konkret, karena hal pertama yang kita jumpai dalam penelitian terhadap penduduk di suatu daerah adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan seharihari.

Amat jarang kiranya seseorang langsung menggunakan bahasa isyarat saat pertama bertemu dengan orang asing. Hal yang lazim dilakukan oleh orang saat pertama bertemu dengan orang asing adalah mencoba mengajaknya berkomunikasi dengan bahasa lisan yang biasa ia gunakan.

Dengan mengamati interaksi sesama penduduk, dapat ditemukan jenis bahasa lokal yang mereka gunakan sebagai komunikasi lisan sehari-hari. Dengan menjumpai pemakaian bahasa ini, peneliti dapat menganalisis tentang kedudukan bahasa lokal dikaitkan dengan bahasa resmi yang dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi lisan antar penduduk suku bangsa yang berbeda.

Dengan mengamati sistem teknologi yang berkembang di dalam kehidupan penduduk, peneliti dapat memfokuskan perhatiannya kepada benda-benda kebudayaan dan alat-alat kehidupan sehari-hari yang sifatnya konkret. Berkaitan dengan sistem ekonomi yang menjadi perhatian dalam penulisan etnografi, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari peneliti adalah jenis mata pencaharian utama yang dilakukan penduduk dalam upaya memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Unsur kebudayaan menyangkut tentang organisasi sosial. Unsur kebudayaan sebagai bahan deskripsi kebudayaan, antara lain berkaitan dengan sistem kekerabatan yang dianut, sistem pemerintahan, pembagian kerja, ataupun aktivitas sosial yang sifatnya kolektif dan mencerminkan suatu birokrasi.

Penulisan deskripsi kebudayaan yang menyangkut sistem pengetahuan adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya penduduk untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaannya, termasuk dalam hal ini adalah bagaimana penduduk berupaya melakukan adaptasi terhadap lingkungan alam sekitarnya. Sebagai contoh, untuk meningkatkan produksi pertanian, penduduk mengembangkan sistem pertanian hidrophonik dengan memanfaatkan setiap jengkal tempat yang kosong untuk ditanami sayuran atau pun buah-buahan di dalam pot tanpa menggantungkan tersedianya lahan pertanian yang luas.

Deskripsi tentang sistem kesenian yang ada dalam kehidupan masyarakat mencakup tentang berbagai bidang seni yang menunjukkan identitas khas masyarakat/suku bangsa tersebut. Bidang seni yang menunjukkan identitas khas masyarakat/suku bangsa, antara lain seni bangunan, seni lukis, seni tari, seni musik tradisional, dan seni vokal.

Deskripsi tentang sistem religi yang dianut masyarakat/ suku bangsa di daerah penelitian berkaitan dengan kepercayaan, gagasan, ataupun keyakinan-keyakinan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat/suku bangsa tersebut. Oleh karena itu, peneliti harus tanggap terhadap unsur dalam sistem religi tersebut.


Studi etnografi tidak terlepas dari teknik yang dipergunakan dalam melaksanakan penelitian etnografi, karena etnografi merupakan sebuah pendekatan penelitian secara teoritis. Oleh karena itu, seorang peneliti di lapangan terlebih dahulu harus menguasai metode-metode yang terkait dengan kegiatan penelitiannya.

Banyak metode yang dapat dipilih dalam melaksanakan studi etnografi. Metode yang paling tepat digunakan, antara lain metode observasi dan metode interview.

a. Metode Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu metode yang dipergunakan dalam penelitian. Dalam arti sempit, metode observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam arti luas, observasi merupakan proses yang kompleks dan tersusun dari berbagai proses biologis maupun psikologis. Dalam metode observasi yang terpenting adalah proses pengamatan dan ingatan.

Kemungkinan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam proses pengamatan dapat diatasi dengan cara sebagai berikut.
  1. Menyediakan waktu yang lebih banyak agar dapat melihat objek yang komplek dari berbagai segi secara berulang-ulang.
  2. Menggunakan orang ( petugas pengamat/observers) yang lebih banyak untuk melihat objeknya dari segi-segi tertentu dan mengintegrasikan hasil-hasil penyelidikan mereka agar diperoleh gambaran tentang keseluruhan objeknya.
  3. Mengambil lebih banyak objek yang sejenis agar dalam jangka waktu yang terbatas dapat disoroti objek-objek itu dari segi-segi yang berbeda-beda oleh penyelidik yang terbatas jumlahnya.
Untuk mengatasi keterbatasan ingatan dalam proses observasi dapat diantisipasi dengan cara sebagai berikut.
  1. Mengadakan pencatatan biasa atau dengan menggunakan check list.
  2. Menggunakan alat-alat mekanik (mechanical device) seperti tape recorder, kamera, dan video. Alat-alat tersebut berfungsi mengabadikan fenomena yang sedang diamati.
  3. Menggunakan lebih banyak observers.
  4. Memusatkan perhatian pada data yang relevan.
  5. Mengklasifikasikan gejala-gejala secara tepat.
  6. Menambah bahan apersepsi tentang objek yang akan diamati.
Menurut Rummel, beberapa petunjuk yang dapat diikuti dalam melaksanakan observasi sebagai berikut.
  1. Terlebih dahulu mencari informasi mengenai hal-hal yang akan diamati.
  2. Tetapkan tujuan- tujuan umum dan tujuan-tujuan khusus yang akan dicapai melalui observasi tersebut.
  3. Tetapkan suatu cara tertentu untuk mencatat hasil-hasil observasi.
  4. Lakukan pembatasan terhadap macam-macam tingkat kategori yang akan dipergunakan.
  5. Lakukan observasi secermat-cermatnya.
  6. Catatlah setiap gejala yang muncul secara terpisah.
  7. Pelajarilah secara baik dan kuasai cara pemakaian alat-alat pencatatan dan tata cara mencatat hasil pengamatan sebelum melakukan observasi.
Menurut Jehoda, observasi menjadi alat penelitian ilmiah, apabila:
  1. mengabdi kepada tujuan-tujuan penelitian yang telah dirumuskan,
  2. direncanakan secara sistematik, bukan terjadi secara tidak teratur,
  3. dicatat dan dihubungkan secara sistematik dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak hanya dilaksanakan untuk memenuhi rasa ingin tahu saja, dan
  4. dapat dicheck dan dikontrol validitas, reliabilitas, dan ketelitiannya sebagaimana data ilmiah lainnya.
Menurut Good, observasi dalam metodologi penelitian mengandung enam ciri sebagai berikut.
  1. Obervasi memiliki arah yang khusus.
  2. Observasi ilmiah tentang tingkah laku adalah sistematik.
  3. Observasi bersifat kuantitatif.
  4. Observasi mengadakan pencatatan dengan segera.
  5. Observasi menuntut adanya keahlian.
  6. Hasil-hasil observasi dapat dicheck dan dibuktikan untuk menjamin reliabilitas dan validitasnya.
Untuk melaksanakan metode observasi, peneliti dapat memilih teknik-teknik observasi yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi. Adapun teknik observasi yang dapat dipilih, antara lain:
  1. observasi partisipan - observasi non partisipan;
  2. observasi sistematik - observasi non sistematik;
  3. observasi eksperimental - observasi non eksperimental.
Untuk memahami, marilah kita pelajari satu persatu:

1) Observasi Partisipan - Observasi Non partisipan

Observasi partisipan pada umumnya dipergunakan dalam penelitian yang sifatnya eksploratif, termasuk dalam menyusun karangan etnografi. Observasi partisipan adalah observasi yang dilakukan di mana observers atau orang yang melakukan observasi turut ambil bagian dalam kehidupan masyarakat yang diobservasi. Sebagai contoh, untuk meneliti pola kehidupan kaum gelandangan maka observers turut membaur dalam kehidupan para gelandangan tersebut. Dalam menggunakan teknik observasi partisipan ini, seorang observers perlu memerhatikan masalah-masalah sebagai berikut.

a) Materi apa saja yang akan diobservasi. Untuk keperluan ini, observers dapat menyiapkan daftar mengenai hal-hal yang akan diamati.
b) Waktu dan bentuk pencatatan. Saat pencatatan yang terbaik adalah model "on the spot", yaitu melakukan pencatatan segera saat pengamatan berlangsung. Tiap pencatatan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu bentuk kronologis dan bentuk sistematik. Bentuk kronologis didasarkan pada urutan kejadiannya, sedangkan bentuk sistematik, yaitu memasukkan tiap-tiap kejadian dalam kategori-kategori masing-masing tanpa memerhatikan urutan kejadiannya.
c) Hubungan baik antara observers dengan objek yang diamati (observees). Untuk mewujudkan hubungan yang baik antara observers dengan observees dapat dilakukan dengan cara:
  1. mencegah timbulnya kecurigaan-kecurigaan;
  2. mengadakan good raport, yaitu hubungan antarpribadi yang ditandai oleh semangat kerja sama, saling mempercayai, dan saling membantu antara observers dengan observees;
  3. menjaga agar situasi dalam masyarakat yang diamati tetap dalam situasi yang wajar.
d) Intensi dan ekstensi keterlibatan observers dalam partisipasi, yaitu sejauh mana keterlibatan observers dalam observasi partisipan. Dalam hal ini observers dapat mengambil bagian dalam kegiatan observasi, yaitu dengan cara sebagai berikut.
  1. Peneliti (observers) mengikuti kegiatan objek yang diamati (observees) hanya pada saat-saat tertentu saja yang oleh peneliti dianggap penting. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi sebagian (partial participation)
  2. Peneliti (observers) mengikuti seluruh kegiatan objek yang diamati (observees) dari awal sampai akhir kegiatan penelitian tersebut. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi penuh (full participation).
Adapun sejauh mana tingkat keterlibatan atau partisipasi peneliti (observers) dalam setiap kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut.
  1. Peneliti (observers) semaksimal mungkin turut terlibat atau mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diamati (observees). Dalam hal ini peneliti terlibat secara intensif (intensive participation).
  2. Peneliti (observers) hanya sedikit ambil bagian dalam kegiatan objek yang diamati. Dalam hal ini peneliti tidak sepenuhnya terlibat, hanya sekilas saja (surfice participation). Penentuan tersebut sepenuhnya ada pada kemauan observers.
Adapun observasi non partisipan adalah observasi yang dilakukan di mana observers sama sekali tidak ikut terjun dalam kegiatan objek yang diamati.

2) Observasi Sistematik - Observasi Non Sistematik

Observasi sistematik sering disebut sebagai observasi berstruktur (structured observation). Observasi sistematik adalah observasi yang dilakukan berdasarkan kerangka pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya. Di dalam kerangka pengamatan tersebut memuat hal-hal sebagai berikut.

a) Materi yang akan diobservasi. Materi yang akan diobservasi pada umumnya telah dibatasi, sehingga observers tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pengamatan.
b) Cara-cara pencatatan hasil observasi. Cara pencatatan hasil observasi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan atau permasalahan yang telah dirumuskan terlebih dahulu, sehingga memudahkan untuk mengadakan kuantifikasi terhadap hasil pengamatan. Pembuatan daftar ini diawali dengan kegiatan sebagai berikut.
  1. Observasi pendahuluan.
  2. Perumusan sementara (konsep).
  3. Adanya uji coba (try out) terhadap konsep yang telah disusun.
  4. Perbaikan dari hasil uji coba.
  5. Dilakukan uji coba lagi - diperbaiki - diuji cobakan, dan seterusnya hingga diperoleh rumusan yang final.
c) Hubungan antara observers dengan observees.

Dalam hal ini, perlu adanya kerja sama yang baik antara observers dengan observees, sehingga pengamatan dapat berlangsung dalam situasi yang sewajarnya/tidak dibuat-buat.

Adapun observasi non sistematik adalah observasi yang berlangsung secara spontan/bebas tanpa adanya kerangka pengamatan. Observasi ini sering disebut sebagai observasi tak berstruktur.

3) Observasi Eksperimental - Observasi Non Eksperimental

Observasi Eksperimental sering disebut sebagai observasi dalam situasi tes. Ciri-ciri observasi eksperimen sebagai berikut.

a) Observers dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observees.
b) Situasi dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observers.
c) Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observees tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari kegiatan observasi tersebut.
d) Observers membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observees mengadakan aksireaksi, bukan hanya jumlah aksi-reaksi semata.

Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni untuk menyelidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Dalam hal ini, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku observees telah dikontrol secermat-cermatnya, sehingga tinggal satu atau dua faktor untuk diamati sejauh mana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu dari tingkah laku.

Melalui observasi eksperimental, observers memiliki kesempatan/peluang untuk mengamati sifatsifat tertentu yang jarang sekali muncul dalam situasi normal. Sebagai contoh, ketidakjujuran, keberanian, dan reaksi terhadap frustrasi. Observasi eksperimental merupakan observasi yang distandardisasi secermatcermatnya.

Dengan demikian, hasil observasi dapat dipergunakan untuk menilai reaksi-reaksi khusus atau perilaku istimewa dari setiap orang. Adapun observasi non eksperimental merupakan kebalikan dari observasi eksperimental. Hal yang paling utama dalam kegiatan observasi adalah terkumpulnya hasil observasi sebagai bahan utama yang dipergunakan untuk menyusun kesimpulan terhadap hasil penelitian. Agar hasil observasi dapat diperoleh secara optimal, diperlukan beberapa alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data hasil pelaksanaan observasi. 

Beberapa alat yang dipergunakan dalam kegiatan observasi sebagai berikut.
  1. Catatan anekdot (anecdotal record)
  2. Catatan berkala
  3. Daftar pengamatan (check list)
  4. Skala pengukuran (rating scale)
  5. Peralatan penunjang (mechanical devices)
Untuk memahaminya marilah kita pelajari satu persatu:

1) Catatan anekdot (anecdotal record)

Catatan anekdot (anecdotal record) sering disebut sebagai daftar riwayat kelakuan. Catatan anekdot (Anecdotal record) merupakan catatan-catatan yang dibuat oleh observers selama pengamatan berlangsung mengenai kelakuan-kelakuan yang dianggap luar biasa. Catatan tersebut dibuat secepat-cepatnya setelah terjadi peristiwa yang dianggap istimewa. Hal yang dicatat adalah kronologis atau bagaimana kejadian tersebut berlangsung dan bukan mengenai pendapatnya terhadap kejadian tersebut. Penggunaan catatan anekdot (anecdotal record) memerlukan waktu yang sangat panjang, sehingga dinilai tidak efektif.

2) Catatan berkala

Catatan berkala dilakukan observers pada waktu tertentu saja secara periodik. Selanjutnya observers menuliskan kesan/pendapatnya.

3) Daftar pengamatan (check list)

Daftar pengamatan (check list) adalah suatu daftar berisi nama-nama subjek dan faktor-faktor yang akan diselidiki. Pembuatan daftar pengamatan (check list) bermaksud agar pengamatan berlangsung secara sistematis.

4) Skala pengukuran (rating scale)

Skala pengukuran (rating scale) adalah pencatatan gejala menurut tingkatan-tingkatannya. Skala pengukuran (rating scale) pada umumnya terdiri atas suatu daftar yang berisi ciri-ciri tingkah laku yang harus dicatat secara bertingkat. Skala pengukuran (rating scale) ini mirip dengan daftar pengamatan (check list), karena observers tinggal memberikan tanda-tanda tertentu atau mengececk tingkatan tingkah laku tertentu selama pengamatan berlangsung.

Penggunaan skala pengukur (rating scale) dalam kegiatan observasi memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut dalam bentuk munculnya penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut.

a) Hallo effects error adalah bentuk penyimpangan yang terjadi karena observees terpikat dengan kesan-kesan umum yang baik/menyenangkan dari observers, padahal observers tidak sedang menyelidiki kesan umum tersebut. Sebagai contoh, orang memberikan nilai baik pada orang yang berpenampilan rapi dan memberikan nilai kurang pada orang yang berpenampilan kurang baik. Padahal penampilan rapi belum tentu menunjukkan sifat yang baik dan sebaliknya penampilan yang kurang menarik belum tentu orangnya bersifat jelek/bodoh.
b) Generosity effects adalah bentuk penyimpangan yang terjadi karena adanya keinginan untuk berbuat baik yang datang dari pihak observers. Dalam situasi yang meragukan kadangkala pihak observers cenderung memberikan penilaian yang menguntungkan kepada pihak yang dinilai.
c) Carry-over effects adalah bentuk penyimpangan yang muncul karena observers dalam memberikan pencatatan terhadap gejala yang muncul terpengaruh oleh pencatatan terhadap gejala yang muncul sebelumnya.

5) Peralatan penunjang (mechanical devices)

Peralatan penunjang (mechanical Devices) adalah pemakaian peralatan hasil kemajuan iptek yang memungkinkan seorang observers mampu mengabadikan segala perilaku observees selama pengamatan berlangsung. Sebagai contoh, pemakaian video untuk merekam perilaku observees selama pengamatan berlangsung, pemakaian tape recorder untuk merekam wawancara dengan observees, dan pemakaian kamera untuk mengabadikan suatu peristiwa.

Keuntungan penggunaan peralatan penunjang (mechanical devices) ini adalah:

a) dapat diputar kembali sewaktu-waktu, jika diperlukan;
b) dapat diamati hasilnya secara cermat;
c) dapat dipergunakan sebagai referensi dalam menyusun bahan penelitian yang akan datang;
d) dapat dipergunakan untuk merevisi atau memperbaiki hasil penelitian agar lebih cermat/teliti.

Tinggi rendahnya kadar ilmiah yang terkandung dalam sebuah hasil observasi sangat ditentukan oleh berbagai hal. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecermatan hasil observasi sebagai berikut.

a) Adanya prasangka-prasangka dan keinginan-keinginan tertentu yang bersumber dari observers.
b) Terbatasnya kemampuan panca indra dan kemampuan daya ingatan manusia.
c) Terbatasnya wilayah pandang. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa kejadian lebih sering muncul dalam perhatian observers dibandingkan dengan kejadian-kejadian lainnya.
d) Kemampuan manusia untuk menangkap hubungan sebab-akibat atau kejadian-kejadian yang berturutturut
tergantung sekali kepada keadaan.
e) Ketangkasan dalam mempergunakan alat-alat pencatatan.
f) Kadar ketelitian pencatatan hasil-hasil observasi.
g) Ketepatan alat yang dipergunakan dalam observasi.
h) Pengertian observer tentang gejala-gejala yang diobservasi.

Penggunaan metode observasi dalam kegiatan penelitian memiliki beberapa keunggulan sekaligus kelemahan. Keunggulan pemakaian metode observasi sebagai berikut.
  1. Observasi merupakan alat yang langsung untuk menyelidiki berbagai macam gejala. Banyak aspekaspek perilaku manusia yang hanya dapat diselidiki melalui jalan observasi secara langsung.
  2. Tidak menuntut banyak kepada observees atau subjek yang diamati, karena pengamatan bisa dilakukan tanpa menghentikan aktivitas objek yang diamati.
  3. Memungkinkan pencatatan yang serempak dengan terjadinya suatu gejala.
  4. Tidak bergantung pada self report.
  5. Banyak kejadian-kejadian penting yang hanya dapat diamati melalui pengamatan langsung.
Kelemahan pemakaian metode observasi sebagai berikut.
  1. Tidak semua kejadian dapat diamati secara langsung, misal tentang kehidupan pribadi seseorang atau adanya perasaan yang dirahasiakan sehingga tidak nampak dalam perilaku secara konkret.
  2. Kemungkinan perilaku yang ditunjukkan observees tidak sebenarnya (pura-pura) karena tahu sedang diamati/diteliti.
  3. Kadangkala timbulnya kejadian sulit diramalkan, sehingga sering muncul kejadian tanpa diketahui atau tanpa kehadiran observers.
  4. Kemungkinan adanya gangguan yang menghalangi proses pengamatan, misal gangguan cuaca.
  5. Berlangsungnya suatu kejadian yang waktunya tidak menentu, kadang sangat cepat kadang juga memerlukan waktu yang amat lama.
b. Metode Interview

GW Allport, seorang peneliti mengemukakan bahwa metode interview merupakan bentuk metode tanya jawab yang dipergunakan untuk menyelidiki pengalaman, perasaan, motif serta motivasi rakyat. Adapun menurut Sutrisno Hadi, pakar metode penelitian di Indonesia menyatakan bahwa interview adalah suatu proses tanya jawab lisan di mana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik (face to face), yang satu melihat muka yang lain dan mendengarkan dengan telinga sendiri suaranya.

Metode interview merupakan alat pengumpul informasi yang langsung memberikan beberapa jenis data sosial, baik yang terpendam (latent) maupun yang nampak. Metode interview kurang tepat untuk menyelidiki aksi reaksi orang dalam bentuk perilaku, namun interview merupakan alat yang sangat baik untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi serta proyeksi seseorang terhadap masa depannya. 

Melalui interview dapat digali pengalaman masa lalu seseorang serta rahasia-rahasia yang dimiliki dalam hidupnya, sekaligus menangkap ekspresi seseorang. Oleh karena itu, diperlukan keahlian khusus bagi si pewawancara (interviewer atau information hunter) untuk memperoleh data yang lengkap dan cermat dari narasumber (interviewee atau information supplyer). Data yang akurat sangat penting peranannya dalam menghasilkan penelitian yang objektif. Pada hakikatnya fungsi interview atau wawancara dalam suatu penelitian dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
  1. Sebagai metode primer, inteview digunakan sebagai metode pokok dan satu-satunya alat pengumpul data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Bagi seorang jurnalis interview merupakan metode primer.
  2. Sebagai metode pelengkap, hasil interview dimaksudkan untuk melengkapi data hasil pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya. Bagi seorang peneliti seringkali interview dilakukan untuk melengkapi data yang telah dikumpulkan dari hasil pengamatan.
  3. Sebagai kriterium, interview dilakukan untuk menguji kebenaran dan kemantapan suatu data yang telah diperoleh dengan cara lain. Dalam hal ini interview berperan sebagai alat pengukur sah tidaknya data yang telah diperoleh sebelumnya. Teknik cek-ricek interview dengan narasumber merupakan contoh pemakaian interview sebagai kriterium.
Untuk memperoleh data yang seobjektif mungkin, dalam proses interview harus terjalin suasana hubungan yang harmonis dalam bentuk hubungan kerja sama antara pihak pewawancara (interviewer) dengan pihak narasumber atau yang diwawancarai (interviewee). Suasana yang baik yang diperlukan dalam proses interview adalah suasana yang saling mempercayai, kerja sama, dan saling menghargai antara interviewer dengan interviewee. 

Oleh karena itu, peran seorang interviewer bukan sekedar sebagai pencari informasi (information getting) saja, melainkan juga harus berperan sebagai motivator bagi terbentuknya suasana interview yang sebaik-baiknya.

Peran interviewer sebagai motivator dalam proses interview dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
  1. Partisipasi, yaitu interviewer turut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh narasumber.
  2. Identifikasi, yaitu interviewer memperkenalkan diri sebagai "orang dalam" dan meyakinkan narasumber bahwa ia adalah sahabat, atau bagian dari mereka dan bekerja untuk membantu mereka.
  3. Persuasi, yaitu interviewer dengan sikap yang sopan dan ramah tamah, menerangkan maksud dan keperluan kedatangannya dan meyakinkan kepada narasumber mengenai pentingnya informasi yang diperlukan darinya.
  4. Menggunakan "key person" atau tokoh pengantar, yaitu interviewer mengajak seseorang tokoh yang dikenal baik oleh narasumber. Tokoh tersebut sebagai pengantar sekaligus meyakinkan narasumber agar bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan secara jujur.
Agar terjalin hubungan baik antara interviewer dengan narasumber (interviewee), maka seorang interviewer harus bersedia mengorbankan sebagian waktu interviewnya untuk mengantarkan interaksinya ke dalam situasi interview yang diharapkan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam upaya menciptakan hubungan baik antara interviewer dengan interviewee sebagai berikut.
  1. Perlu diadakan pembicaraan-pembicaraan pemanasan atau berupa basa-basi yang mencerminkan keramah-tamahan pada awal interview.
  2. Kemukakan tujuan dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dipahami oleh narasumber, dan dikemukakan dengan sikap rendah hati dan bersahabat.
  3. Hubungkan pokok-pokok pembicaraan dengan perhatian narasumber dan tariklah ke arah pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada narasumber.
  4. Ciptakan suasana yang bebas, sehingga narasumber tidak merasa tertekan dengan pertanyaan yang diajukan interviewer. Dalam keadaan seperti itu, narasumber secara leluasa dapat memberikan jawaban/informasinya.
  5. Bagi interviewer, jangan menunjukkan sikap tergesa-gesa, sikap kurang menghargai jawaban atau kurang percaya pada narasumber. Apa pun jawaban narasumber harus ditanggapi oleh interviewer dengan perhatian yang penuh.
  6. Berilah dorongan kepada narasumber agar ia memiliki perasaan sebagai orang yang dibutuhkan kerja sama dan bantuannya untuk membantu pelaksanaan penelitian.
Lancar tidaknya suatu proses wawancara sangat bergantung pada keahlian interviewer dalam melontarkan pertanyaan dan memancing jawaban yang sejujur-jujurnya dari narasumber. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi seorang interviewer yang handal perlu adanya latihan-latihan, terutama dalam menjalin komunikasi dengan orang lain.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh interviewer untuk meningkatkan kecakapannya dalam menjalankan tugas wawancara sebagai berikut.

1) Pertanyaan-pertanyaan pembukaan 

Untuk menciptakan suasana dan hubungan yang baik diperlukan keahlian dari pihak interviewer dalam menjalin interaksi sosial. Pada awal wawancara diajukan pertanyaan-pertanyaan yang netral, ringan dan menarik minat narasumber. Hindarkan kesan awal yang seram, tegang, penuh tekanan atau berkesan menyelidiki/curiga. Dengan demikian, narasumber akan menjawab dengan hangat dan akrab.

2) Gaya bicara

Gaya bicara sangat menentukan suasana wawancara sekaligus memengaruhi hubungan interviewer dengan narasumber. Berbicaralah terus terang, secara sederhana serta hindari pembicaraan yang berbelit-belit dan tidak jelas akar permasalahannya.

3) Nada dan irama

Suasana rileks dalam proses wawancara ditentukan pula oleh nada dan irama pembicaraan yang diucapkan oleh interviewer. Hindari nada suara yang monoton, membentak-bentak, kasar, dan cenderung menginterogasi. Hal tersebut akan menimbulkan suasana tegang dan tidak menyenangkan, sehingga dapat mengakibatkan narasumber tidak mau diwawancarai. Irama pertanyaan pun perlu diatur, jangan terlalu lamban atau terlalu cepat, sehingga narasumber dapat memahami apa yang diinginkan interviewer.

4) Sikap bertanya

Suasana yang menyenangkan dalam wawancara adalah suasana yang rileks. Proses pembicaraan, seperti berbicara dengan sahabat dan tidak kaku. Sikap interviewer yang perlu dihindari dalam interview sebagai berikut.

a) Sikap seperti seorang hakim yang sedang menginterogasi terdakwa. 
b) Sikap seperti guru besar sedang memberi kuliah mahasiswanya.
c) Sikap acuh dan kurang menghargai narasumber.
d) Sikap tidak mempercayai narasumber sehingga sering menyela jawaban atau bahkan mencelanya.

5) Mengadakan paraphrase

Kadangkala narasumber kurang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaannya dalam bentuk kata-kata yang tepat atau kalimat yang runtut. Untuk itu, diperlukan peran interviewer untuk membantu merumuskan kalimat yang tepat yang dikehendaki narasumber. Dalam hal ini, interviewer berperan seolah sebagai penterjemah bebas. Akan tetapi, jangan sampai paraphrasing ini diartikan sebagai bentuk menarik kesimpulan dari apa yang diungkapkan narasumber. Paraphrasing bukan merupakan bentuk kesimpulan tetapi sekedar membantu menerjemahkan isi hati narasumber.

6) Mengadakan prodding atau probing

Prodding atau probing artinya mengadakan penggalian yang lebih dalam atau melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan saksama. Interviewer harus mampu memancing narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat agar narasumber bersedia memberikan penjelasan/informasi sedalam mungkin.

7) Mengadakan pencatatan

Mencatat hasil wawancara merupakan bagian yang penting dari suatu proses wawancara. Jika memungkinkan, cara yang terbaik adalah melakukan pencatatan sesegera mungkin untuk menghindari kesesatan-kesesatan recording. Oleh karena itu, interviewer perlu mengembangkan kecakapan mencatat on the spot. Di era sekarang ini pencatatan hasil wawancara bisa dikesampingkan mengingat adanya sarana perekam yang cukup canggih. Namun kadangkala narasumber merasa tidak nyaman, jika dalam pelaksanaan wawancara disertai dengan adanya alat perekam, sehingga dalam mengemukakan pendapat atau menyampaikan informasi bisa terlalu hati-hati atau bahkan terkesan dibatasi.

Melakukan pencatatan seketika saat wawancara sedang berlangsung memang mengandung unsur kelemahan. Kelemahan pencatatan seketika saat wawancara sedang berlangsung adalah sebagai berikut.

a) Kemungkinan kelancaran pembicaraan bisa terganggu karena lawan bicaranya sibuk mencatat.
b) Kemungkinan interviewer tidak mampu menulis cepat, sehingga kerap kali narasumber harus mengulang pembicaraannya.
c) Kewajaran dalam proses wawancara ikut terganggu karena narasumber terpengaruh untuk memberikan informasi yang pantas dicatat saja.

Akan tetapi, jika pencatatan hasil wawancara tidak dilakukan sesegera mungkin atau tidak secara on the spot, maka akan terjadi kelemahan sebagai berikut.

a) Kemampuan/daya ingat interviewer yang terbatas akan mengalami kesulitan untuk mengingat hasil wawancara menunggu sampai wawancara berakhir.
b) Ekspresi narasumber saat memberikan informasinya sulit diingat/direkam.
c) Memungkinkan munculnya kesalahan informasi akibat penundaan pencatatan yang menimbulkan lupa pada bagian-bagian tertentu.

8) Menilai jawaban

Ketelitian pencatatan dan paraphrase sangat bergantung pada ketetapan penilaian interviewer terhadap jawaban/informasi dari narasumber. Demikian halnya perlu tidaknya mengadakan prodding atau tepat tidaknya suatu probing sangat bergantung pada baik buruknya interviewer menilai jawaban narasumber. Validitas hasil wawancara merupakan fungsi dari kebenaran penilaian jawaban. Agar penilaian jawaban dapat dilakukan secara tepat, interviewer perlu memerhatikan hal-hal berikut ini.

a) Adanya sikap phenomenologik, yaitu kesediaan untuk meninggalkan segala bentuk prasangka maupun motif-motif subjektif lainnya.
b) Adanya sikap factual, artinya tidak terkurung oleh alur pemikirannya sendiri dan tidak menarik kesimpulan tanpa dilandasi fakta yang objektif.

Penerapan metode interview dalam upaya mengumpulkan data untuk penelitian etnografi diperlukan persiapan yang matang, terutama bagi seorang pemula. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum melakukan wawancara (interview) sebagai berikut.

1) Menentukan topik wawancara

Topik interview disesuaikan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Dalam hal ini peneliti sebagai calon interviewer harus mampu menyusun kisi-kisi yang memuat jabaran tentang data yang akan dibutuhkan dalam upaya mencapai tujuan penelitian.

2) Menentukan orang-orang yang akan diwawancarai

Untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat, maka diperlukan narasumber yang tepat. Misal: seorang peneliti ingin mengetahui berapa tingkat kelulusan siswa setiap tahun di suatu kabupaten, maka narasumber yang cocok adalah pejabat di dinas pendidikan dan bukannya mencari data ke kelurahan. Sebaliknya jika ingin mengetahui sejauh mana tingkat mobilitas warga desa, narasumber yang paling tepat adalah pejabat yang berwenang di kantor kelurahan, bukan di kantor dinas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan kejelian peneliti untuk mengaitkan data dengan narasumber yang tepat.

3) Mengatur waktu dan tempat pelaksanaan wawancara

Dalam merencanakan waktu dan tempat wawancara, pihak interviewer harus berpedoman bahwa ia sebagai interviewer harus secara maksimal melayani apa kemauan narasumber. Kesibukan narasumber yang mungkin sangat padat, maka jauh-jauh hari sebelumnya perlu adanya janji kapan dan di mana bisa mengadakan wawancara. Sebagai pihak yang berperan dalam pembuatan janji ini adalah narasumber, sedangkan inteviewer sepenuhnya bergantung pada kesediaan narasumber saja. Oleh karena itu, ketepatan waktu interviewer ini harus dijaga, di samping kesabaran karena kemungkinan besar pihak narasumber karena kesibukannya bisa mengalami keterlambatan.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini memungkinkan setiap saat interviewer mengecek kesiapan dan kesediaan narasumber untuk melakukan interview sesuai janji yang telah disepakati sebelumnya.

4) Menyusun interview guide atau pedoman wawancara

Sebagai langkah terakhir dalam persiapan proses interview adalah menyusun pedoman wawancara atau interview guide yang berisi daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada narasumber.

Fungsi penyusunan interview guide sebagai berikut.

a) Sebagai pedoman atau panduan tentang pokok pembicaraan agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian.
b) Menghindarkan kemungkinan terjadinya pembicaraan yang tidak relevan, sehingga interviewer cepat-cepat mengalihkan ke tujuan pokok.
c) Meningkatkan fungsi interview sebagai metode yang hasilnya memenuhi prinsip komparabilitas.

Interview guide tidak harus dalam bentuk lembaran kertas yang terpampang di depan narasumber atau secara demonstratif digunakan sebagai panduan selama proses wawancara berlangsung, akan tetapi bisa dihafal sebelumnya. Kadangkala bagi peneliti pemula yang belum terbiasa melakukan interview, pedoman wawancara bisa dibuat dalam bentuk garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Pedoman wawancara tersebut setiap saat bisa dilihat kembali oleh interviewer selama proses wawancara untuk mengetahui mana yang telah ditanyakan dan mana yang belum ditanyakan kepada narasumber.

Untuk menyusun pedoman wawancara yang baik dan lengkap, peneliti perlu mempersiapkan kisi-kisi yang menjabarkan data-data yang akan diperlukan dalam penelitian untuk ditanyakan kepada narasumber. Misal: peneliti memerlukan data tentang natalitas (angka kelahiran) penduduk, maka hal yang ditanyakan antara lain mencakup:

a) jumlah kelahiran setiap tahun;
b) jumlah penduduk keseluruhan;
c) jumlah kematian setiap tahun;
d) jumlah puskesmas;
e) jumlah bidan;
f) dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah kelahiran, secara lengkap sehingga dari hasil wawancara tersebut peneliti dapat menganalisis data yang berkaitan dengan data pokok yang dibutuhkan.

Dalam metode interview beberapa teknik yang dapat digunakan oleh peneliti sebagai berikut.

1) Teknik interview terpimpin

Interview terpimpin sering disebut sebagai guides interview, structured interview, controlled interview atau directed interview. Dalam interview terpimpin, pihak interviewer berfungsi bukan sekedar sebagai pengumpul data saja melainkan sebagai pengumpul data yang relevan dengan maksud-maksud penelitian yang telah dipersiapkan secara masak sebelum kegiatan wawancara dilaksanakan. Dalam pelaksanaan interview terpimpin, ada hipotesis yang dibawa ke lapangan untuk dibuktikan benar tidaknya, dan ada kerangka pokok permasalahan yang akan ditanyakan berkaitan dengan upaya pembuktian hipotesis tersebut. Jadi, interview terpimpin merupakan interview yang dilakukan dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan secara tegas. Dengan demikian pihak interviewer seolah hanya sekedar membacakan apa yang harus dijawab oleh narasumber.

Pelaksanaan wawancara dengan teknik interview terpimpin memiliki kelemahan, antara lain sebagai berikut.

a) Proses wawancara berlangsung kaku, kurang dapat disesuaikan dengan suasana yang ada.
b) Hubungan antara interviewer dengan narasumber berlangsung sangat formal.
c) Data yang diperoleh kurang mendalam, karena hanya terbatas pertanyaan yang telah disiapkan dan tidak memberikan kesempatan interviewer untuk mengembangkan materi pertanyaan meskipun kemungkinan terbuka peluang untuk menggali informasi lebih dalam dari narasumber.
d) Situasi yang terjadi selama proses wawancara cenderung mengarah ke suasana interogasi layaknya hubungan hakim dengan terdakwa di persidangan.

Namun demikian pelaksanaan teknik interview terpimpin memiliki keunggulan, antara lain sebagai berikut.

a) Adanya uniformitas (keseragaman) pertanyaan memungkinkan pengkomparasian (perbandingan) hasil penelitian menjadi lebih mudah.
b) Pemecahan problematika atau pembuktian hipotesis akan lebih mudah diselesaikan.
c) Memungkinkan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
d) Menghasilkan kesimpulan yang reliabel.

2) Teknik interview tak terpimpin

Berbeda dengan teknik interview terpimpin yang telah tersedia pedoman khusus untuk mengarahkan proses wawancara. Dalam pelaksanaan teknik interview tak terpimpin ini ditandai dengan tidak adanya kesengajaan dari pihak interviewer untuk mengarahkan wawancara ke pokok-pokok permasalahan yang menjadi titik fokus dari kegiatan penyelidikan.

Teknik interview tak terpimpin sering disebut sebagai nondirective interview atau unguided interview. Teknik interview tak terpimpin merupakan bentuk wawancara yang berlangsung spontan, banyak dikuasai oleh keinginan atau kecenderungan interviewer tanpa dikendalikan oleh suatu pedoman interview, sehingga cenderung mengarah kepada pembicaraan bebas atau free talk.

Pelaksanaan teknik interview tak terpimpin memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut.

a) Kadar ilmiahnya sangat rendah.
b) Mengakibatkan kegiatan penelitian menjadi sangat insidental.
c) Tidak dapat dipergunakan untuk keperluan pengecekan secara efisien.
d) Memakan waktu yang terlalu banyak, memboroskan tenaga, dan biaya.
e) Hanya cocok untuk penelitian-penelitian tipe eksploratif.

Meskipun demikian pelaksanaan teknik interview tak terpimpin ini memiliki kebaikan. Kebaikan pelaksanaan teknik interview tak terpimpin sebagai berikut.

a) Merupakan teknik interview yang cocok digunakan pada tahap penelitian awal.
b) Tidak menuntut keahlian yang cukup mendalam bagi seorang interviewer.
c) Tingkat kewajaran pembicaraan sangat optimal karena kondisinya dalam suasana pembicaraan bebas (free talk).
d) Memungkinkan diperoleh data yang khusus dan mendalam, karena suasana yang bebas mengakibatkan narasumber merasa leluasa untuk mengungkapkan apa yang ada dalam isi hatinya tanpa ragu.

3) Teknik interview bebas-terpimpin

Teknik interview bebas-terpimpin pada hakikatnya merupakan gabungan dari bentuk teknik interview terpimpin dan teknik interview tak terpimpin. Dalam pelaksanaan teknik interview bebas-terpimpin, suasana bebas terlihat dalam proses pelaksanaan wawancara, antara lain wawancara yang wajar, tidak dibuat-buat, dan tidak kaku, sehingga narasumber mampu mengungkapkan isi hatinya. Data yang diperoleh pun menjadi lebih mendalam akibat penciptaan suasana wawancara yang bebas tersebut. Adapun unsur terpimpin dipertahankan dalam bentuk persiapan panduan wawancara atau interview guide yang berfungsi sebagai pengarah topik pembicaraan. Dengan mempertahankan unsur terpimpin ini diharapkan hasil wawancara tersebut mampu memenuhi prinsip-prinsip komparabilitas dan reliabilitas.

Panduan wawancara yang disiapkan dalam pelaksanaan teknik interview bebas-terpimpin berupa daftar pokok pertanyaan yang mengarah pada upaya pembuktian hipotesis penelitian yang sedang dilakukan. Pokok-pokok pertanyaan yang disiapkan tersebut akan menjadi kriteria pengontrolan relevan tidaknya isi interview. Adapun suasana kebebasan yang diciptakan selama proses wawancara berlangsung akan memberikan kesempatan untuk mengendalikan kekakuan selama proses interview berlangsung. Oleh karena itu, interview bebas-terpimpin ini sering disebut sebagai interview terkontrol atau controlled interview.

Dalam kegiatan-kegiatan penelitian sosial, teknik interview bebas terpimpin paling banyak dipilih, terutama untuk mengungkap sikap-sikap sosial dari objek penelitian. Merton dan Kendall menyebut teknik interview bebas-terpimpin ini sebagai "Focussed Interview" artinya wawancara yang difokuskan pada penghayatan pribadi seseorang dalam menghadapi suatu situasi yang khusus.

Merton dan Kendall yakin bahwa focussed interview merupakan jenis interview yang serba guna, karena dengan menerapkan teknik ini, peneliti dapat:

a) mengetes validitas suatu hipotesis yang bersumber pada suatu analisis dan teori sosial psikologis;
b) memperoleh respon-respon yang tak diduga terhadap situasi tertentu, sehingga muncul hipotesishipotesis baru yang masih segar.

Jika ditinjau dari jumlah interviewee (narasumber) yang dihadapi, teknik interview dapat dibedakan menjadi dua yakni interview pribadi dan interview kelompok.

a) Interview pribadi atau personal interview adalah wawancara yang dilakukan secara berhadap-hadapan atau face to face antara interviewer dengan interviewee. Pelaksanaan interview pribadi ini memberikan suasana privacy yang maksimal, sehingga kemungkinan untuk memperoleh data yang intensif sangatlah besar. Selain itu ketelitian dan kemantapan hasil interview dapat diperoleh secara maksimal, jika pada saat wawancara berlangsung dilakukan cecking. Interviewer dapat secara mudah mengawasi segala bentuk gerak-gerik narasumber, sehingga interviewer mudah memberikan penilaian terhadap jawaban-jawaban yang diberikan oleh narasumber. Berdasarkan penilaian jawaban itu, interviewer dapat memutuskan perlu tidaknya melakukan probing atau tidak, melakukan paraphrasering ataukah tidak.
b) Interview kelompok atau group interview adalah wawancara yang dilakukan oleh interviewer terhadap beberapa orang interviewee (narasumber) sekaligus. Penerapan interview kelompok ini sangat berguna sebagai alat pengumpulan data yang sekaligus difungsikan sebagai proses check-cross check. Di mana para anggota dapat saling mengontrol jawaban rekan-rekannya, melengkapi mana yang kurang dan lebih menjelaskan mana yang nampak masih samar-samar.

Dalam melaporkan hasil interview kadangkala terjadi banyak kesalahan. Adapun sumber kesalahan tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Error of Recognition

Error of Recognition adalah kesalahan yang disebabkan karena ingatan interviewer yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi, jika interviewer adalah seorang yang pelupa, sulit mengingat dan merekonstruksi kembali jawaban narasumber, jarak antara pelaksanaan wawancara dengan pencatatan hasil wawancara cukup lama, adanya keinginan yang besar dari interviewer untuk memasukkan hasil pemikiran atau pendapatnya ke dalam hasil jawaban narasumber, atau penyebab lain yang menyebabkan kemampuan mengingat interviewer rendah.

2) Error of Omission

Error of Omission adalah kesalahan hasil pertanyaan yang disebabkan oleh adanya hal-hal yang seharusnya dilaporkan atau dicatat tetapi justru dilewatkan begitu saja oleh interviewer. Hal itu bisa terjadi jika pencatatan hasil wawancara secara on the spot, sehingga terburu-buru dan banyak yang terlewatkan.

3) Error of Addition

Error of Addition adalah kesalahan yang terjadi karena interviewer terlalu berlebihan dalam memasukkan pendapatnya atau terlalu berlebihan dalam mengolah hasil jawaban narasumber, sehingga justru mengaburkan informasi yang sebenarnya. Hal itu terjadi karena interviewer ingin menjadikan hasil jawaban narasumber sebagai sesuatu yang lain, misal lebih didramatisir untuk menarik minat pembaca.

4. Error of Substitution

Error of Substitution adalah kesalahan yang terjadi karena interviewer mengganti jawaban narasumber yang sulit diingatnya. Hal itu terjadi karena ada hal-hal yang terlupa pada hasil wawancara tersebut dan diganti dengan pendapat interviewer. Penggantian terhadap hal-hal yang terlupakan interviewer menggunakan kata yang menurutnya padanan dari kata yang terlupakan, atau karena interviewer tidak mengerti makna istilah yang diucapkan oleh narasumber dan diganti dengan istilah lain yang justru tidak tepat, bahkan mengaburkan makna yang sesungguhnya.

5) Error of Transpotition

Error of Transpotition adalah kesalahan yang terjadi karena ingatan interviewer tidak mampu mereproduksi urutan kejadian menurut waktu atau sesuai hubungan antara fakta-fakta seperti apa adanya, tetapi interviewer menuliskan urutan atau hubungan tersebut yang tidak sesuai apa adanya. Hal itu terjadi jika interviewer tidak memahami kronologis suatu kejadian dan mencoba untuk merangkai sendiri menurut pemahamannya, padahal itu tidak benar.

Berbagai kesalahan dari hasil laporan wawancara tersebut dapat ditekan serendah mungkin dengan menggunakan alat-alat bantu audio visual yang mendokumentasikan proses wawancara. Penerapan metode interview dalam mengumpulkan data untuk penelitian memiliki kebaikan dan kelemahan.

Kebaikan-kebaikan metode interview sebagai berikut.
  1. Merupakan salah satu metode terbaik yang dipergunakan untuk menilai keadaan pribadi.
  2. Tidak dibatasi oleh tingkatan umur dan tingkatan pendidikan subjek yang diteliti.
  3. Dalam penelitian-penelitian sosial, metode interview merupakan metode pelengkap yang selalu dipergunakan.
  4. Dengan unsur fleksibilitas/keluwesan yang dimilikinya, metode interview cocok sekali dipergunakan sebagai kriterium atau alat verifikasi terhadap data yang diperoleh dengan metode lain.
  5. Dapat dilaksanakan sambil melakukan observasi.
Adapun kelemahan metode interview sebagai berikut.
  1. Tidak efisien, memboroskan waktu, biaya, dan tenaga.
  2. Sangat bergantung pada kesediaan, kemampuan dan situasi yang ada pada interviewee (narasumber), sehingga informasi yang diperoleh ketelitiannya kurang.
  3. Proses dan isi interview sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sekitar yang memberikan tekanantekanan yang mengganggu.
  4. Diperlukan interviewer yang mampu menguasai bahasa interviewee atau mampu berkomunikasi dengan baik.
  5. Hanya sesuai untuk interviewee yang terbatas, sebab jika interviewee dalam jumlah banyak dan heterogen diperlukan banyak interviewer.
C. Penelitian Etnografi Tentang Persebaran Bahasa Lokal

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dimiliki setiap suku bangsa. Bahasa dapat dijadikan sebagai salah satu aspek yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian etnografi. Apalagi dalam kehidupan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari unsur bahasa. Sejumlah manusia yang memiliki ciri-ciri ras tertentu yang sama belum tentu memiliki bahasa induk yang termasuk satu keluarga bahasa, apalagi memiliki satu kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan. Sebagai contoh: bangsa Muang Thai, bangsa Khmer, dan bangsa Sunda, ketiganya merupakan satu kelompok ras yang sama, yakni dari kelompok ras Paleo-Mongoloid.

Namun bahasa induk masing-masing orang tadi termasuk keluarga bahasa yang berlainan. Bahasa orang Muang Thai adalah bahasa Sino-Tibetan, bahasa Khmer termasuk dalam keluarga bahasa Austro-Asia, sedangkan bahasa Sunda termasuk keluarga bahasa Austronesia. Demikian halnya kebudayaan dari ketiga suku bangsa tersebut tidaklah sama. Kebudayaan Thai dan Khmer terpengaruh dalam kebudayaan Buddha, sedangkan kebudayaan Sunda terpengaruh kebudayaan Islam.

Akan tetapi ada pula suku bangsa yang berbeda ras namun memiliki bahasa induk yang berasal dari satu keluarga bahasa. Misal: orang Huwa yang tinggal di pedalaman Madagaskar, orang Jawa di pulau Jawa, dan orang Bgu di pedalaman Papua. Ketiganya dari ras yang berlainan, yakni orang Huwa dari ras Negroid dengan unsur ras Kaukasoid-Arab, orang Jawa termasuk ras Mongoloid dan orang Bgu termasuk ras Melanesoid. Namun, ketiganya menggunakan bahasa yang berasal dari satu induk keluarga bahasa yang sama yaitu keluarga bahasa Austronesia.

Memmerhatikan fakta di atas, makin menegaskan bahwa penelitian mengenai bahasa yang dipergunakan suatu suku bangsa menarik untuk diteliti terutama berkaitan dengan proses persebaran bahasa. Seperti dalam kehidupan remaja Indonesia dewasa ini, kemajuan iptek terutama dalam bidang informasi menjadikan bahasa Betawi menjadi salah satu ragam bahasa yang amat digemari di kalangan pergaulan remaja. Perhatikan saja, bagaimana remaja di pelosok tanah air khususnya yang tinggal di perkotaan berkomunikasi, mereka terbiasa menggunakan istilah: lu, gue, ntar, dong, yang merupakan kosa kata dalam bahasa Betawi. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa bahasa Betawi yang ada di pusat ibu kota Republik Indonesia bisa sedemikian mudah di jumpai di kota Jayapura yang ribuan kilometer jauhnya? Hal itu merupakan fenomena yang menarik untuk dijadikan materi penelitian tentang persebaran bahasa lokal (dalam hal ini bahasa Betawi) menjadi bahasa pergaulan anak-anak di seluruh Indonesia.

Pertanyaan tersebut dapat diangkat sebagai tema utama dalam penelitian singkat mengenai etnografi khususnya tentang persebaran bahasa lokal. Adapun bahasa lokal yang dapat diangkat sebagai pokok persoalan dalam penelitian etnografi ini tidak terbatas pada bahasa Betawi yang notabene sebagai bahasa pergaulan remaja saja, melainkan juga bahasa-bahasa lokal di berbagai daerah yang sebenarnya amat kaya dan bervariatif, sehingga menarik untuk diteliti.

Pada umumnya persebaran bahasa lokal disebabkan oleh faktor sebagai berikut.
  1. Tingginya arus migrasi atau perpindahan penduduk, baik melalui urbanisasi, transmigrasi maupun emigrasi. Unsur-unsur bahasa lokal sebagai alat komunikasi lisan tetap mewarnai dalam interaksi sosiai masyarakat pendatang di tempat yang baru.
  2. Peran media massa, khususnya media elektronik yang banyak menayangkan pemakaian bahasa tutur (dialog) yang dipergunakan para panutan masyarakat (public figure) sehingga banyak ditiru oleh masyarakat luas menembus batas suku bangsa dan wilayah.
  3. Kebijakan pemerintah. Di era otonomi daerah ini pemerintah daerah berusaha untuk menonjolkan identitas daerahnya di antaranya dengan mensosialisasikan pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari yang perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
Dalam pelaksanaan penelitian, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti sebagai berikut.
  1. Unsur atau masalah apa yang akan dijadikan objek penelitian. Misal tentang persebaran bahasa lokal, perlu dibatasi mengenai apa yang akan disoroti, antara lain tentang logat, kosakata, persamaan atau perbedaannya, dan faktor yang menentukan persebaran. Dalam menentukan unsur yang terkandung dalam permasalahan ini perlu didiskusikan dengan bimbingan guru yang berkompeten. Sebagai contoh, peneliti ingin memilih topik tentang persebaran bahasa, maka perlu bimbingan khusus dari guru bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
  2. Menentukan metode yang akan digunakan. Dalam hal ini dipilih metode yang tepat untuk memperoleh data sesuai dengan unsur-unsur yang akan diteliti.
  3. Menentukan daerah penelitian. Sesuai dengan tema, yaitu mengenai persebaran bahasa lokal, maka daerah yang dijadikan objek penelitian terutama daerah-daerah yang menggunakan bahasa lokal tersebut, termasuk daerah lain yang berbatasan dengan daerah yang masyarakatnya menggunakan bahasa lokal tersebut.
  4. Menyusun kerangka dasar penelitian yang digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pengumpulan data.
  5. Melaksanakan kegiatan penelitian.
  6. Menyusun laporan.
Dari keseluruhan urutan kegiatan tersebut sebelumnya disusun proposal atau progam kerja yang dilengkapi dengan jadwal kegiatan atau "schedule" pelaksanaan kegiatan. Dengan tersusunnya program kerja, siswa dapat melaksanakan kegiatan sesuai alokasi waktu dan target yang telah ditetapkan. Penyusunan laporan merupakan tahap akhir dari rangkaian kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian ditutup dengan presentasi, yaitu penyajian hasil penelitian. Adapun penyajian hasil penelitian dapat dipaparkan dalam forum diskusi yang diikuti seluruh siswa di kelas maupun khusus dipertanggungjawabkan di depan tim penguji.

Dalam presentasi tersebut dibuka kesempatan bagi para peserta diskusi atau tim penguji untuk menyanggah, memberikan saran ataupun kritikan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan siswa.

D. Format Laporan Hasil Penelitian

Langkah terakhir dari keseluruhan rangkaian proses penelitian adalah menyusun laporan. Hasil laporan penelitian merupakan upaya mengomunikasikan hasil penelitian dari peneliti kepada khalayak umum. Melalui laporan penelitian, masyarakat luas dapat memetik hasil dari suatu penelitian dan sekaligus memenuhi salah satu syarat penelitian ilmiah, yaitu bersifat terbuka.

Penyusunan laporan harus ditulis menurut tata tulis penulisan ilmiah. Banyak variasi tata tulis penulisan ilmiah, namun secara garis besar sebuah laporan penelitian ilmiah memuat hal-hal berikut.

1. Bagian awal, berisi tentang:

a. Halaman judul: judul ditulis dengan kalimat pernyataan secara ringkas dengan menggunakan bahasa yang baku.
b. Halaman kata pengantar, memuat kalimat singkat yang mengantarkan pembaca untuk menikmati hasil laporan, disertai ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan harapan serta kritikan dari pembaca.
c. Halaman daftar isi, memuat judul tiap bab/subbab dan di halaman mana bab/subbab tersebut berada.
d. Halaman daftar tabel; adakalanya laporan penelitian memuat label hasil pengamatan /pengumpulan data. Tabel diberi nomor urut serta judul tabel.
e. Halaman daftar gambar: jika dalam laporan tersebut terdapat gambar perlu diberi nomor urut dan diberi judul gambar.
f. Halaman lampiran, memuat daftar lampiran yang mendukung laporan tersebut. Adapun bukti fisik lampiran diletakkan di halaman bagian akhir.

2. Bagian inti, berisi tentang:

a. Latar belakang masalah: memuat tentang alasan mengapa peneliti memilih topik penelitian tersebut.
b. Tujuan penelitian, memuat tentang tujuan penelitian.
c. Penelaahan kepustakaan, memuat tentang asumsi dasar yang mendukung/berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut.
d. Hipotesis, berupa dugaan atau kesimpulan sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dalam penelitian tersebut. (Bagian ini tidak mutlak ada, karena ada penelitian yang tidak memerlukan hipotesis)
e. Metodologi, mengungkapkan pendekatan dan metode yang dipergunakan dalam penelitian tersebut.
f. Hasil pengumpulan data: memaparkan secara rinci hasil penelitian.
g. Interpretasi hasil pengolahan data: memuat tentang proses pengolahan data dan hasil kesimpulan dari penelitian berdasarkan hasil pengolahan data. Dalam bab ini adakalanya dipaparkan tentang implementasi hasil penelitian dalam kehidupan sehari-hari maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

3. Bagian akhir, berisi tentang:

a. Daftar kepustakaan: memuat daftar referensi atau literatur yang dipergunakan sebagai acuan dalam penelitian tersebut. Penulisan daftar kepustakaan memuat: nama pengarang, tahun penerbitan, judul buku, penerbit, dan kota tempat penerbitan buku referensi tersebut.
b. Lampiran-lampiran: semua bukti fisik lampiran yang mendukung penelitian baik dalam bentuk kelengkapan administrasi (perizinan) maupun lampiran yang dipergunakan dalam penelitian tersebut.

Penyajian laporan tersebut dapat berupa:
  1. makalah;
  2. paper/kertas kerja;
  3. gambar-gambar hasil dokumentasi;
  4. artikel.
Rangkuman :

a. Studi etnografi dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut.
  1. Menentukan lokasi penelitian.
  2. Menyusun kerangka penelitian.
  3. Menentukan metodologi penelitian.
  4. Melaksanakan penelitian.
  5. Menyusun laporan.
  6. Mengomunikasikan hasil penelitian.
b. Metode penelitian etnografi yang utama adalah metode observasi dan metode interview.

c. Teknik penerapan metode observasi sebagai berikut.
  1. Teknik observasi partisipan-nonpartisipan.
  2. Teknik observasi sistematik-nonsistematik
  3. Teknik observasi eksperimentalnoneksperimental
c. Alat observasi meliputi catatan anekdot (anecdotal record), catatan berkala, daftar pengamatan (check list), skala pengukur (rating scale), dan peralatan penunjang (mechanical devices).

d. Hal-hal yang perlu dikuasai oleh peneliti dalam pelaksanaan metode interview sebagai berikut.
  1. Menyusun pertanyaan-pertanyaan pembukaan.
  2. Gaya bicara.
  3. Nada dan irama dalam berbicara.
  4. Sikap bertanya.
  5. Mengadakan paraphrase.
  6. Mengadakan prodding dan probing.
  7. Mengadakan pencatatan.
  8. Menilai jawaban.
e. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam melaksanakan metode interview sebagai berikut.
  1. Menentukan orang yang hendak di interview.
  2. Mengatur waktu dan tempat interview.
  3. Membuat pedoman interview.
  4. Melaksanakan interview.
f. Teknik-teknik yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan metode interview sebagai berikut.
  1. Interview terpimpin
  2. Interview tak terpimpin
  3. Interview bebas-terpimpin
g. Menurut jumlah interviewee, proses interview dapat dibedakan dalam: interview pribadi dan interview kelompok.

h. Hal-hal yang perlu disiapkan dalam pelaksanaan penelitian etnografi adalah sebagai berikut.
  1. Menentukan lokasi penelitian.
  2. Menentukan metode pengumpulan data.
  3. Menyusun kerangka penelitian.
  4. Melaksanakan penelitian.
  5. Menyusun pelaporan.
  6. Mempresentasikan hasil pelaporan.
i. Format penyusunan laporan penelitian sebagai berikut.

– Bagian awal, berisi :
  1. Halaman Judul
  2. Halaman Kata Pengantar
  3. Halaman Daftar Isi
  4. Halaman Daftar Tabel (jika ada)
  5. Halaman Daftar Gambar (jika ada)
  6. Halaman Lampiran (jika ada)
– Bagian inti, berisi:
  1. Latar Belakang Masalah
  2. Tujuan Penelitian
  3. Penelaahan kepustakaan
  4. Hipotesis
  5. Metodologi
  6. Hasil pengumpulan data
  7. Interpretasi hasil pengolahan data
– Bagian akhir, berisi:
  1. Daftar Kepustakaan
  2. Lampiran-lampiran (jika ada)
j. Hasil laporan penelitian dapat berbentuk makalah, kertas kerja, gambar hasil dokumentasi, dan artikel.

E. Mengkomunikasikan Hasil Studi Antropologi

1. Contoh-Contoh Aneh di Sekitar Kita

Ada dua orang bertemu yang berasal dari suku bangsa yang berbeda. Mereka berdua saling menilai. Yang satu berpikir, kok orang ini beda sekali dengan saya, bicaranya lantang dengan dialek yang tegas dan kuat. Kalau bicara sangat keras seperti orang marah, bicaranya terus terang dan tidak peduli pada perasaan orang lain. Dari mana asal orang ini? Yang lainnya berpikir pula, orang ini kok beda sekali dengan saya, bicaranya pelan dan lembut hampir tidak terdengar, sangat hati-hati dan setiap kalimat diatur sedemikian rupa. Dari mana asal orang ini, kok beda dengan saya? Karena perbedaan keduanya bersikap saling hati-hati, bahkan muncul rasa takut yang pada akhirnya membuahkan permusuhan. Seandainya mereka belajar hasil studi Antropologi, khususnya mengenai studi Ethnologi, tentu mereka akan dapat saling menerima dan bersahabat dengan baik.

Masih banyak orang Indonesia yang masih heran ketika orang melihat suku Baduy Dalam yang lebih suka berjalan kaki pada masa dimana begitu tersedia banyak sarana transportasi, akibatnya banyak pandangan negatif terhadap mereka. Orang juga masih sering heran dan bingung ketika melihat suku bangsa Asmat menggunakan koteka, pada masa dimana berbagai masyarakat sudah menggunakan busana. Hal itu akan bisa dipahami bila kita mempelajari hasil studi Ethnografi yang berhubungan dengan orang Baduy dan Asmat, yang akan dapat digunakan untuk mempercepat perkembangan kebudayaan mereka.

Setiap hari salah satu saluran televisi selalu menyiarkan ramalan cuaca. Adakah kita mempedulikannya. Menurut ramalan cuaca, suatu daerah akan dilanda hujan yang hebat, tetapi kita tidak mempedulikannya, bila ada kepentingan, meskipun dapat ditunda, kita tetap pergi ke daerah itu. Herannya lagi, anak-anak remaja ditengah hujan lebat yang diserta petir tetap saja asik bermain sepak bola di lapangan. Tidak lama kemudian tersiar kabar duka cita, seorang anak remaja tewas tersambar petir ketika bermain sepak bola di lapangan. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?

2. Apa Penyebabnya ?

Apa penyebabnya masih ada orang yang tidak dapat merendahkan kebudayaan suku bangsa lain? Apa sebabnya masih timbul rasa heran, takut, tidak akrab dan merasa berbeda bila kita bertemu dengan orang-orang di luar suku bangsa kita? Mengapa terkadang masih sering muncul sikap anti pati terhadap kebudayaan suku bangsa lain meskipun kita sesama bangsa Indonesia?

Jawaban yang sebab pertama untuk semua pertanyaan itu adalah ketidaktahuan terhadap hasil-hasil studi Antropologi. Seandainya setiap orang Indonesia mengetahui secara umum hasil studi ethnologi Indonesia, tentu mereka akan mengetahui keragaman budaya sehingga tidak akan heran ketika bertemu berbagai jenis orang dari berbagai suku bangsa. Mereka akan dapat saling menerima dan bersahabat dengan mesra.

3. Bagaimana Cara Mengatasinya?

Bagaimana cara memastikan agar orang tahu hasil penelitian sosial budaya? Tindakan yang harus dilakukan adalah mengkomunikasikan hasil studi Antropologi untuk memastikan bahwa semua orang mengenal keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Mengkomunikasikan dilanjutkan dengan Sosialisasi studi Antropologi. Sosialisasi hasil studi

Antropologi diartikan sebagai proses penanaman hasil studi Antropologi kepada masyarakat. Sosialisasi hasil penelitian sosial budaya dapat dilakukan melalui berbagai saluran sosialisasi, seperti: sekolah, surat kabar, bulletin, media elektronik, kelompok teman sebaya, pejabat-pejabat pemerintah yang tersebar diseluruh daerah Indonesia dan kegiatan khusus yang dibuat untuk mensosialisasikan hasil penelitian sosial budaya dimaksud. Dengan demikian mereka diharapkan dapat menerima keanekaragaman dan hidup berdampingan bersama guna membangun peradaban dan kebudayaan manusia yang lebih maju.

Komunikasi adalah inti dari kehidupan manusia. Komunikasi melahirkan persamaan makna antara semua pihak yang terlibat. Komunikasi dapat diwujudkan dengan pembicaraan, gerak-gerik fisik ataupun perasaan. Pada prinsipnya komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Keberhasilan komunikasi sangat tergantung pada ada tidak pemahaman saling pengertian antara si pengirim pesan dan si penerima pesan. Komunikasi adalah kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data, fakta dan ide. Atas dasar pengertian ini, fungsi komunikasi mencakup :

a. Informasi; Mengumpulkan, menyimpan, memproses, penyebaran berita, data, gambar, hasil studi, pesan, opini dan komentar yang dibutuhkan agar dapat dimengerti dan beraksi secara jelas terhadap orang lain sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat.
b. Sosialisasi; menanamkan data, fakta, nilai-nilai hasil studi Antropologi kepada orang lain sehingga mengetahui, bersikap dan berperilaku sesuai dengan hasil studi Antropologi.
c. Motivasi; menjelaskan tujuan, manfaat dan kegunaan hasil studi. Antropologi dalam kehidupan masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan memotivasi orang menentukan pilihan dan keinginannya untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan hasil studi Antropologi.
d. Perdebatan dan Diskusi; hindari mengkomunikasikan hasil studi Antropologi melalui upaya paksa, lakukan melalui diskusi dan perdebatan yang diwarna oleh penyajian data dan fakta untuk memungkinkan persetujuan bersama terhadap pentingnya mengetahui dan menerapkan hasil penelitian sosial dan budaya.
e. Pendidikan; proses pengalihan hasil studi Antropologi yang mendorong pelaksanaan penelitian selanjutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
f. Memajukan Kebudayaan; menyebarkan hasil studi Antropologi bermaksud untuk melestarikan warisan masa lalu, mengembangkan kebudayaan dan membangun imajinasi dan mendorong kreativitas dan kebutuhan estetikanya.
g. Hiburan; hasil studi Antropologi mengandung aspek hiburan, seperti permainan, olah makna, dan sebagainya. Penyebaran hasil studi Antropologi juga berarti mengandung unsur hiburan, kesenangan dan bagi komunikator dan komunikan.
h. Integrasi; hasil studi Antropologi berisi berbagai pesan, apabila menimbulkan pemahaman bersama di masyarakat akan mendorong terwujudnya sikap saling mengerti yang mendorong terwujudnya persatuan dan kesatuan.

4. Cara Mengkomunikasikan Studi Antropologi

Bagaimana cara mengkomunikasikan studi Antropologi agar sampai kepada semua orang. Sangat mungkin untuk mengkomunikasikannya dari mulut ke mulut tetapi hasilnya tidak akan maksimal, orang yang tahu hanya sedikit saja. Bagaimana caranya agar semua orang tahu? Caranya adalah menuliskan hasil studi Antropologi itu dalam berbagai bentuk karya ilmiah, seperti makalah, artikel dan karya foto, kemudian menyebarkannya melalui berbagai sarana komunikasi, seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan sebagainya.

a. Makalah

Setiap makalah setidaknya harus memuat 4 (empat) bagian utama, yaitu pendahuluan, perumusan masalah, pembahasan masalah dan penutup. Pada prinsipnya keempat bagian itu merupakan satu kesatuan. Pendahuluan akan menentukan perumusan masalah, perumusan masalah akan menggiring pembahasan masalah yang selanjutnya akan dengan Pendahuluan. Kemudian ke Perumusan Masalah, melaju ke Pembahasan Masalah lalu ke bagian akhir Makalah, yaitu Penutup.

1) Judul

Temukan judul menarik yang berhubungan dengan studi Antropologi dalam kehidupan peradaban manusia. Judul menunjukkan gambaran umum mengenai permasalahan yang akan dibahas. Susunlah dengan kata-kata yang baik sehingga mudah dimengerti. Contoh judul :

MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

(Suatu Tinjauan Analitis Terhadap Mahalnya Biaya Pendidikan
Berdasarkan Hukum dan Birokrasi)

2) Pendahuluan

Pendahuluan berisi fakta-fakta kehidupan budaya manusia yang menjadi latar belakang suatu pemilihan judul makalah. Pemaparan dapat digunakan dengan cara berpikir induktif dan deduktif, kalian boleh memilih salah satunya sesuai dengan selera masing-masing. Pendahuluan juga memaparkan adanya pertentangan-pertentangan dalam kebudayaan manusia yang layak dipermasalahkan untuk mengembangkan kebudayaan manusia itu sendiri.

3) Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah kelanjuta dari pendahuluan. Perumusan masalah dapat diawali oleh penguatan terhadap pertentangan yang terjadi pada kebudayaan masyarakat, kemudian tentukan dam rumuskan masalahnya. Perhatikan controh di bawah ini.

Kesenjangan yang terjadi dalam dunia pendidikan itu, penulis tuangkan dalam perumusan masalah sebagai berikut :

a)
Apa penyebab terjadinya biaya pendidikan yang mahal pada sekolah menengah atas?
b)
Adakah andil birokrasi pendidikan dalam menimbulkan biaya pendidikan mahal pada sekolah menengah atas?

4) Pembahasan Masalah

Setelah ditemukan masalahnya tentu saja harus dibahas untuk menemukan penyebab dan jalan keluar dari masalah yang dikemukakan. Pembahasan masalah sangat tergantung pada tipe studi yang dilakukan. Pada tipe studi kuantitatif, selain didukung oleh landasan teoritis, juga harus dilengkapi dengan berbagai angket (daftar pertanyaan yang harus di isi responden yang dapat dipilih dengan acak) dan kuesioner (daftar isian yang harus diisi oleh responden yang dapat ditentukan dengan pasti), atau wawancara, kemudian hasil jawaban diolah dengan statistik dengan menggunakan rumus-rumus tertentu. Pada tipe studi kualitatif, selain didukung oleh landasan teoritis, orang yang melakukan studi harus terjun langsung ke lapangan untuk mengamati dan melihat secara langsung kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan. Harus diadakan pengamatan berhari-hari, bahkan bila perlu tinggal bersama dengan masyarakat yang akan diteliti.

Hasil pengamatan ini memberikan deskripsi dan paparan yang menyeluruh mengenai kehidupan masyarakat yang bersangkut untuk menemukan sebab-sebab permasalahan guna mencari dan menemukan jalan keluar yang terbaik. Perhatikan contoh pembahasan masalah di bawah ini.



1. Hukum Pendidikan Indonesia

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: "Indonesia adalah negara hukum". Konsep negara hukum sudah mengalami perkembangan yang panjang. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1973 : 156): "Ada dua tipe negara hukum, yaitu negara hukum dalam arti sempit (negara hukum klasik) dan negara hukum dalam arti luas (negara hukum dalam arti luas). Tugas negara pada negara hukum dalam arti sempit hanya menjaga agar hak-hak rakyat jangan dilanggar, negara tidak boleh campur tangan mengenai urusan kemakmuran rakyat. Tugas negara pada negara hukum modern, selain menjamin hak-hak rakyat juga mewujudkan kesejahteraan rakyat."

Setidaknya ada 4 (empat) teori tujuan negara, yaitu teori tujuan kekuasaan, teori tujuan perdamaian dunia, teori tujuan jaminan atas hak dan kebebasan warga negara serta teori modern. Menurut teori tujuan modern yang dikemukakan oleh Kranenburg, tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat (Parlindungan Siahaan, 2000 : 4). Dapat dikatakan bahwa tujuan akhir suatu negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal) (Abdul Rozak, 2000 : 54).

Apakah tipe negara hukum dan teori tujuan negara yang dianut negara republik Indonesia? Menurut alenia 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan negara Indonesia adalah :

a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dari tujuan negara demikian, dapat disimpulkan bahwa tipe negara hukum yang dianut negara republik Indonesia adalah negara hukum dalam arti luas. Teori tujuan negara yang dianut negara republik Indonesia adalah teori modern, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat (social service state / welfare state).

Indonesia adalah negara hukum. Hukum yang saya maksud pada makalah ini adalah hukum positive. Kaum positivisme berpendapat bahwa hukum adalah undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang. Stufenbau theori Hans Kelsen mengajarkan suatu sistem hukum merupakan susunan hierarkhis hukum, dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.

Hukum yang tertinggi disebut Grundnorm (norma dasar). Stufenbau theori dianut Indonesia. Menurut Ketetapan MPR nomor III tahun 2000, tata urutan peraturan perundang-undang RI terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah

Untuk mewujudkan konsep negara hukum modern dan tujuan negara negara, negara Indonesia mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Hukum negara Indonesia dalam bidang pendidikan dapat dipahami dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pemerintah negara Indonesia mewujudkan tujuan nasional, diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 28C ayat 1 menegaskan: "setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat ….dst". Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 berisi "setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 memerintahkan "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 selanjutnya menggariskan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang".

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Jaminan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia dituang dalam bab VIII UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Agar terwujud pemerataan pendidikan, maka pemerintah harus menjamin adanya pendidikan yang murah bagi semua orang.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 mengenal istilah pendidikan berbasis masyarakat. Pasal 55 ayat 3 menuliskan: "dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Pasal ini menjadi landasan bagi tumbuhnya pemahaman bahwa masyarakat, khususnya orang tua peserta didik wajib belajar harus bertanggung jawab terhadap pendanaan penyelenggaraan pendidikan.

Memang di satuan sekolah menengah atas tertentu diperkenalkan juga istilah subsidi silang. Orang tua peserta didik yang kaya menanggung lebih banyak biaya pendidikan untuk mensubsidi biaya pendidikan peserta didik dari orang tua yang kurang beruntung secara ekonomi. Orang tua peserta didik menanggung biaya pendidikan menurut kemampuannya. Orang tua yang sangat kaya menanggung menurut kemampuannya. Orang tua kaya menanggung menurut kemampuannya dan orang tua miskin menanggung menurut kemiskinannya. Tetapi setahu penulis, masih belum ada sekolah menengah atas yang memberlakukan subsidi silang ini, yang berlaku adalah semua anak menanggung biaya pendidikan yang sama kuantitasnya.

2. Birokrasi Pendidikan Indonesia

Kata birokrasi berasal dari kata "bureau" dan "kratein". "Bureau" berarti meja tulis atau sebagai tepat para pejabat bekerja. "Kratein" bermakna mengatur (Martin Albrow, 2005 : 2). Dapat disimpulkan, birokrasi adalah meja tulis tempat para pejabat bekerja untuk mengatur. Apa yang diatur? Tentu saja bidang pekerjaannya masing-masing. Bila Ia seorang birokrat pendidikan Indonesia maka yang diatur adalah masalah pendidikan untuk mewujudkan idealisme pendidikan sebagai tertulis dalam hukum (peraturan perundang-undangan) pendidikan Indonesia.

Birokrasi mencakup pembagian tugas dalam lingkup fungsi yang secara relatif berbeda. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih (Martin Albrow (2005 : 49). Tugas birokrasi adalah mencegah terjadinya kesewenang-wenang dari pejabat negara, kekuasaan pejabat yang besar bukanlah masalah, persoalannya adalah metoda dan prosedur standar dalam melaksanakan kekuasaan itu yang disebut dengan birokrasi.

Birokrasi sangat penting untuk mencegah terjadi kesewenang wenangan. Lord Acton berkata "orang yang berkuasa cenderung menyalahgunakan kekuasaannya" (Meriam Budiarjo, 1986 : 15). Kekuasaan yang dimiliki Sekolah Menengah Atas untuk mengelola penyelanggaraan pendidikan bukan masalah.

Persoalannya adalah birokrasinya, yaitu metode dan prosedur standar untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki SMA untuk menyelenggarakan pendidikan sehingga peserta didik dan orang tuanya terhindar dari tindakan sewenang-wenang. Ketika birokrasi Sekolah Menengah Atas gagal menyerap dan melaksanakan aspirasi warga maka sesungguhnya birokrasi sekolah tersebut mengalai kegagalan dalam mewujudkan tujuannya, yaitu pendidikan yang efesien dan murah dalam rangka encerdaskan kehidupan bangsa (disarikan dari Martin Albrow, 2005 : 145).

Beranjak dari uraian di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan birokrasi pendidikan (Sekolah Menengah Atas) adalah:

a. Para pejabat pendidikan yang mengatur Sekolah Menengah Atas, yaitu:
  1. Menteri Pendidikan Nasional
  2. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
  3. Kepala Dinas Pendidikan Propinsi
  4. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
  5. Kepala Sekolah beserta Staf Kepala Sekolah
  6. Komite Sekolah
b. Prosedur dan metode yang digunakan dalam melaksanakan kekuasaan yang dimiliki pejabat pendidikan (Sekolah Menengah Atas) dalam menyelenggarakan pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Tujuan birokrasi pendidikan adalah mewujudkan demokratisasi pada dunia pendidikan (Sekolah Menengah Atas).

Birokrasi harus dijalankan berdasarkan kehendak mayoritas warga sekolah, bila tidak demikian maka dapat dikatakan bahwa birokrasi mengalami kegagalan. Birokrasi pendidikan bertujuan juga mewujudkan efesiensi dalam penyelenggaran Sekolah Menengah Atas dengan biaya yang murah, bila tidak demikian maka birokrasi itu mengalami kegagalan.

Adakah prinsip-prinsip yang dapat diterapkan sehingga birokrasi dijalankan menurut tujuannya? Tentu ada. Dalam hal ini penulis merujuk pada 10 prinsip mewirausahakan birokrasi dari David Osborne dan Ted Gaebler, yaitu:

a. Pemerintahan katalis; mengarahkan ketimbang mengayuh
b. Pemerintahan milik masyarakat; memberi wewenang ketimbang melayani
c. Pemerintahan yang kompetitif; menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan
d. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan
e. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil, bukan masukan
f. Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
g. Pemerintahan wirausahan, menghasilkan ketibang membelanjakan
h. Pemerintahan antisipatif, mencegah daripada mengobati
i. Pemerintahan desentralisasi
j. Pemerintahan berorientasi pasar; mendongkrak perubahan melalui pasar.

3. Penyebab Mahalnya Biaya Pendidikan SMA dan Birokrasinya

Pada saat seorang peserta didik hendak masuk Sekolah Menengah Atas, Ia dikenakan biaya siswa baru, besarnya berkisar lima ratus ribu rupiah hingga satu juta rupiah. Bagi anak dengan orang tua mampu, biaya seperti itu bukanlah masalah, tetapi bagi orang tua yang tidak mampu, jelas biaya sebesar itu adalah masalah besar. Jangankan uang lima ratus ribu rupiah, maka sehari-hari saja terancam. Para orang tua berkomentar; "bukankah para guru digaji negara, untuk apa saja biaya sebanyak itu? " Sebagian besar pernyataan dibalik pertanyaan itu mengandung kebanaran.

Pada umumnya untuk siswa baru, Sekolah Menengah Atas memungut biaya dengan perincian:

a. Biaya seragam sekolah
b. Biaya pembangunan
c. Biaya iuran sekolah
d. Biaya ekstrakurikuler

Setelah menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Atas, para peserta didik juga masih harus membayar uang buku (LKS) dan study wisata.

a. Biaya Seragam Sekolah

Pada akhir-akhir ini ada kecenderungan, bukan hanya siswa baru SMA yang diwajibkan membeli seragam sekolah, tetapi juga siswa kelas XI dan XII. Para siswa baru diwajibkan membeli bahan seragam sekolah dengan biaya antara Rp. 65.000 s.d Rp. 100.000, meliputi:
  1. 1 stel bahan seragam putih abu-abu
  2. 1 stel bahan seragam pramuka
  3. 1 stel bahan seragam identitas sekolah.
Untuk kelas XI dan XII diwajibkan membeli bahan seragam identitas sekolah, dengan harga berkisar antara Rp. 30.000 s.d Rp. 45.000. Sepintas semua beralan wajar saja, 3 stel bahan seragam SMA dibeli dengan harga Rp. 65.000 - Rp. 100.000. Tetapi bila dibandingkan dengan kualitas bahannya dan dibandingkan dengan harga pasar maka timbul keanehan.

Ternyata bila dibandingkan dengan harga pasar, harga bahan itu sangat mahal, harga bahan seragam sekolah yang dijual sekolah hanya berharga Rp. 40.000 - Rp. 60.000 tetapi anak harus membayarnya dengan harga Rp. 65.000 - Rp. 100.000. Dengan demikian terjadi mark up (penggelembungan harga).

b. Biaya Pembangunan

Setiap siswa baru pada umumnya juga dikenai biaya pembangunan untuk melaksanakan pembangunan fisik sekolah. Besarnya antara Rp. 200.000 s.d Rp. 500.000. Setiap tahun selalu ada jenis pungutan dan sekolah tidak pernah berhenti melakukan pembangunan fisik. Ada-ada saja alasan tentang materi yang akan dibangun. Cara menentukan besarnya uang pembangunan juga sangat demokratis. Biasa berdasarkan rapat orang tua siswa yang dipimpin oleh pengurus koite sekolah dengan dihadiri pejabat SMA. Biasa para orang tua yang keberatan pada awalnya menyatakan keberatan, tetapi lama kelamaan pada akhirnya mereka juga menyetujui permintaan dana pembangunan, meskipun setelah usai rapat para orang tua yang tidak mampu itu pusing memikirkan biaya sekolah dan kecewa dalam hati.

c. Biaya Iuran Sekolah

Sudah wajar apabila siswa baru juga dikenakan iuran sekolah. Untuk SMA di kabupaten Karanganyar yang digunakan adalah prinsip sama rata. Setiap peserta didik dikenakan biaya iuran sekolah yang sama jumlahnya tanpa memperhatikan kemampuan ekonomi orang tuanya. Cara menentukan besarnya biaya iuran sekolah juga sangat demokratis. Biasa berdasarkan rapat orang tua siswa yang dipimpin oleh pengurus komite sekolah dengan dihadiri pejabat SMA. Biasanya lagi, para orang tua yang keberatan dengan biaya pada akhirnya harus menerima keputusan rapat. Terjadi Diktator mayoritas.

d. Biaya Ekstrakurikuler

Dengan alasan muatan lokal, sekolah mengadakan pendidikan ekstrakurikuler, seperti pendidikan komputer, musik dan keterapilan lainnya. Tentu saja biayanya dibebankan kepada peserta didik. Biasanya berkisar antara Rp. 5.000 s.d Rp.15.000 perbulannya. Cara penetuan pilihan jenis pendidikan muatan lokal yang diberikan uga sangat demokratis demikian juga dalam penentuan biayanya. Tetapi anehnya, para peserta didik mengikutinya dengan setengah hati, sehingga pendidikan muatan lokal ini juga tidak efektif.

e. Tinjauan Dari Prinsip-Prinsip Mewirausahakan Birokrasi

Ditinjau dari birokrasinya, keputusan untuk mewajibkan anak membeli bahan seragam sekolah sangat demokratis, karena keputusan itu diambil dengan persetujuan Komite Sekolah dan Rapat Orang Tua Siswa. Lalu apa yang salah? Yang salah adalah birokrasi pengadaan bahan seragam sekolah menengah atas, setidaknya tidak menerapkan prinsip:
  1. Pemerintahan milik masyarakat; memberi wewenang ketimbang melayani. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, (2000 : 29-35) sekolah semestinya lebih berperan sebagai katalisator dan fasilitator. Semestinya sekolah cukup menguraikan berbagai kebutuhan peserta didik, setelah itu sekolah harus lebih memberikan wewenang kepada para orang tua dan peserta didik dalam memenuhi kebutuhannya menurut kemampuannya. Bukan seperti sekarang, sekolah mendikte peserta didik dan orang tuanya dan kurang merespon apa kata orang tua peserta didik.
  2. Pemerintahan yang kompetitif, menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 94) keuntungan paling nyata dari persaingan adalah efesiensi yang lebih besar. Pengadaan bahan seragam sekolah diadakan secara monopoli, harga ditentukan sekolah dan toko bahan seragam yang ditunjuk sekolah. Begitu juga halnya dalam pemberian jenis pelanan lainnya seperti; study wisata dan kegiatan ekstrakurikuler. Akibatnya tidak ada persaingan dan efesiensi tidak dapat diwujudkan.
  3. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 133), organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efesien, efektif dan inovatif ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Sekolah sebaiknya hanya menyampaikan apa misi sekolah, sedang tentang bagimana cara mewujudkan misi sekolah, diserahkan kepada masingasing peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut kekuatannya sendiri. Hal ini belum berlangsung di Sekolah Menengah Atas sampai saat ini pada berbagai jenis pelayanan.
  4. Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 210), sistem yang berorientasi pelanggan memberi kesempatan kepada orang untuk memilih diantara berbagai macam pelayanan. Pada sekolah menengah atas, para pejabat sekolah mengabaikan hal ini, tidak ada alternatif bagi kebijakan yang diambil. Harus beli seragam sekolah yang sejenis dan sama bagi setiap peserta didik. Harus mengadakan study wisata ke kota tertentu. Harus mengikuti jenis kegiatan ekstrakurikuler tertentu. Tidak ada alternatif. Sekolah lebih mengutamakan kepentingannya dari pada suara pelanggan yaitu peserta didik dan orang tuanya.
  5. Pemerintahan antisipatif, mencegah daripada mengobati. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 253), pencegahan lebih memecahkan masalah ketimbang memberikan jasa. Para pejabat pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Atas, tidak pernah mengadakan analisis mengapa biaya pendidikan sangat mahal. Mungkin perlu diadakan langkah-langkah pencegahan, seperti, pemberian jasa pengadaan bahan seragam, pelaksanaan pembangunan fisik sekolah dan study wisata sudah saatnya dihentikan. Tetapi apa mungkin hal ini terwujud, karena akan hilang keuntungan ekonomi birokrat pendidikan yang selama ini diperoleh.
  6. Pemerintahan berorientasi pasar; mendongkrak perubahan melalui pasar. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 323), pemerintahan berorientasi pasar dapat berjalan apabila ada penawaran, permintaan, aksebilitas, informasi, peraturan dan penjagaan. Prinsip ini tidak berjalan dengan baik di SMA karena hampir dalam semua pemberian pelayanan, tidak ada penawaran yang memadai, yang ada penawaran monopoli, permintaan tidak didasarkan atas kemampuan peserta didik tetapi berdasarkan penyamarataan, tidak ada aksebilitas dimana peserta didik tidak mudah dalam mengakses penjual secara langsung, peserta didik juga tidak memiliki informasi yang cukup mengenai pelayanan jasa yang diperolehnya. Peraturan memang sudah ada, tetapi kurang dalam penjagaan agar peraturan itu berjalan sesuai dengan tujuannya.
4. Andil Birokrasi Pendidikan Pada Biaya Pendidikan SMA

Pasal 55 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003 menentukan masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat (school / community based management) pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan dasar berbasis masyarakat adalah pendidikan dasar yang berakar pada masyarakatnya, yang dibangun menurut karakteristik masyarakatnya. Pada masyarakat petani sudah seharus dibangun pendidikan dasar yang sesuai dan menunjang pertanian. Pada masyarakat nelayan sudah sewajarnya dibangun dan dibina pendidikan dasar yang sesuai dan menunjang pembangunan masyarakat nelayan, dan sebagainya.

Pasal 55 ayat 3 UU nomor 20 tahun 2003 menetapkan dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dihubungkan dengan prinsip otonomi sekolah pada pendidikan, maka pasal ini banyak ditafsirkan bahwa sekolah dapat memungut uang dari para orang tua peserta didik.

Berapapun besarnya uang ditarik tidaklah menjadi soal selama dilakukan menurut prosedur demokratis dan bukankah sumber pendanaan pendidikan dasar adalah masyarakat, khususnya orang tua peserta didik?

Pendidikan dasar berbasis pada masyarakat dihubungan dengan otonomi sekolah diberi makna bahwa sekolah harus dibangun sesuai dengan kemampuan masyarakatnya, sekolah akan memberi beban biaya pada setiap peserta didik dari menurut kemampuannya masing-masing. Sayangnya sampai sekarang masih banyak orang yang mengartikan pendidikan dasar berbasis pada masyarakat sebagai keleluasaan menarik dana pendidikan dari masyarakat sebesar-besarnya. Iuran sekolah Sekolah Dasar boleh saja Rp. 500.000 perbulan asal orang tua peserta didik menyetujuinya melalui suatu mekanisme demokrasi. Berbagai jenis uang pungutan, dari dana pembangunan, uang sergam sekolah, uang gizi anak, iuran pelajaran tambahan dapat saja diadakan dan ditarik, sekali lagi asal disetujui oleh orang tua melalui mekanisme demokrasi. Dan sampai saat ini, berbagai jenis pungutan dapat digoalkan melalui rapat Komite Sekolah, dimana para pengurus Komite Sekolah berhasil menggalang opini orang tuanya dengan mengerahkan segala kemampuannya.

Untuk menjembatani antara keinginan pengelola sekolah dengan masyarakat (orang tua peserta didik) dibentuklah komite sekolah. Tugas komite sekolah adalah memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana, prasarana, serta pengawasan pendidikan. Melihat lebih jauh pada penyelenggaraan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah, ternyata komite sekolah lebih cenderung bertugas sebagai lembaga yang menggiring pemikiran orang tua peserta didik untuk menyetujui permintaan pengelola satuan pendidikan. Akhirnya berapapun biaya yang dibebankan pengelola sekolah kepada para orang tua, setelah melalui proses demokrasi pada akhirnya harus ditanggung oleh orang tua.

Komite Sekolah sebagai lembaga yang terdiri dari unsur orang tua dan guru seharusnya dapat memberi pertimbangan objektif menurut kemampuan perekonomian orang tua terhadap berbagai permintaan pengelola sekolah yang berhubungan dengan pendanaan pendidikan. Dapat mengidentifikasi kemampuan setiap orang tua peserta didik, kemudian memberikan arahan dalam menentukan kebijakan sekolah terhadap besarnya iuran sekolah dan biaya lainnya yang harus ditanggung oleh setiap peserta didik. Bila hal ini dapat dijalankan maka dimungkinkan saja adanya peserta didik yang gratis dan dibebaskan dari berbagai iuran sekolah.

Setelah ditetapkan jumlah uang iuran sekolah dalam rapat Komite Sekolah yang dihadiri para orang tua peserta didik. Banyak para orang tua merasa berat bahkan tidak mampu. Diantara mereka tidak mau bersuara karena merasa malu atau merasa bahwa usahanya akan sia-sia. Ada juga yang berani menyatakan keberatannya, tetapi pada akhirnya suara itu dikalahkan melalui suara terbanyak. Sepertinya semua berjalan sangat demokratis, tetapi hasilnya tidak mencerminkan keadilan sosial. Bila kemudian ditemukan ada peserta didik yang putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran sekolah, Komite Sekolah juga tidak mau tahu, yang penting hanya satu, semua keputusan hasil rapat Komite Sekolah harus dilaksanakan, bila tidak sanggup mematuhinya, iya jangan bersekolah.

Kebutuhan sekolah tidak terbatas, sementara kemampuan warga sekolah sangat terbatas. Komite Sekolah harus mampu mengendalikan keinginan sekolah, bahkan bila perlu menolak permintaan sekolah apabila dianggap tidak subtanstif. Tidak harus tiap tahun membangun fisik sekolah. Tidak tidak tahun mengadakan piknik keluarga. Tidak tiap harus tahun mengadakan pembelian seragama, dan sebagainya. Bila hal ini terwujud maka keberadaan Komite Sekolah akan sangat mendukung pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Realitasnya pada saat ini, Komite Sekolah belum dapat menjalankan tugas idealnya, mereka cenderung hanya berfungsi sebagai stempel setuju terhadap semua keinginan pengelola sekolah. Tidak jauh beda dengan keadaan DPR RI dan MPR RI pada masa orde baru.



5) Penutup

Penutup adalah kelanjutan dari pembahasan masalah. Penutup berisi kesimpulan dan saran, lebih baik lagi bila disertai dengan implikasi. Dalam penutup temukan dan tuliskan beberapa kesimpulan yang berupa intisari makalah dari pendahuluan, perumusan masalah hingga pembahasan masalah. Berdasarkan kesimpulan itu buatlah saran sebagai jalan keluar yang ditawarkan terhadap permasalahan yang dibahas. Kumudian dapat juga dilengkapi dengan implikasi, yaitu penerapan dari keseimpulan dan saran yang diajukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penguat untuk mencegah terjadinya masalah sejenis di kemudian hari.

Perhatikan contoh penutup di bawah ini.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Bila dikaji lebih lanjut, ternyata negara hukum yang dianut Indonesia adalah negara hukum modern dan negara demokrasi yang diterapkan Indonesia adalah negara demokrasi modern. Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi modern menampakkan diri sebagai welfare state atau social service state.

Salah satu perwujudan Indonesia sebagai negara kesejahteraan tercermin dari adanya pendidikan murah yang dapat dinikmati dan diperoleh setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31 ayat 1 - 3 Undang-Undang Dasar 1945. Dan dipertegas lebih lanjut dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sampai saat ini, pendidikan murah dan terjangkau adalah suatu idealisme yang patut diperjungkan. Disebut idealisme karena konsep tersebut masih merupakan dunia cita (das sein) dan berbeda jauh dari realitas pendidikan (das sollen). Patut diperjuangkan karena konsep tersebut sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai demokrasi serta welfare state.

Pembahasan terhadap mahalnya biaya pendidikan Sekolah Menengah Atas pada makalah ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang sekaligus merupakan jawaban terhadap permasalahan. Kesimpulan dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Penyebab terjadinya biaya pendidikan yang mahal pada Sekolah Menengah Atas adalah diterapkannya berbagai keputusan yang dalam proses pembuatannya terlihat sangat demokratis, melalui penggiringan yang dilakukan oleh para pejabat Komite Sekolah yang pada akhirnya mengesampingkan aspirasi orang tua peserta didik dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Disamping itu proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pada Sekolah Menengah Atas tidak memperhatikan prinsip-prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Akibatnya; timbul birokrasi Sekolah Menengah Atas yang bersifat inefesiensi organisasi.
  2. Dapat dipastikan bahwa birokrasi pada Sekolah Menengah Atas turut andil dalam mewujudkan biaya pendidikan mahal. Seperti diuraikan sebelumnya, tata cara pengabilan setiap keputusan pada Sekolah Menengah Atas dilakukan secara demokratis dengan mengikutsertakan orang tua peserta didik. Dalam proses demokrasi itu nampak bahwa Komite Sekolah leih berpihak kepada birokrat sekolah (kepala sekolah) daripada orang tua dari peserta didik, khususnya yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Intinya birokrasi sekolah (Komite Sekolah) lebih berpihak kepada keinginan kepala sekolah dan pejabat sekolah lainnya dari pada lebih menanggapi dan merespon keinginan orang tua peserta didik. Singkatnya; birokrasi sekolah adalah alat bagi pejabat sekolah yang mengabdi kepada kepada birokrat sekolah, bukan kepada pelanggan (orang tua peserta didik). Mahalnya biaya sekolah pada Sekolah Menengah Atas memiliki legalisasi dan diproses secara demokratis oleh birokrat sekolah, dalam hal ini adalah Kepala Sekolah dan Komite Sekolah.
Untuk mencegah adanya birokrasi sekolah yang bersifat inefesien, yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan pada Sekolah Menengah Atas, Penulis mengajukan saran sebagai berikut :
  1. Usaha secara terus menerus perlu dilakukan, setidaknya untuk mengingatkan tugas dan fungsi Komite Sekolah dalam menjembati keinginan birokrat sekolah dengan orang tua peserta didik. Komite Sekolah harus selalu dapat mendengar suara kedua belah pihak, kemudian mengambil keputusan dengan mengacu kepada keadilan dan kepatutan yang hidup dan berkembang pada warga sekolah. Sehingga pada akhirnya muncul sosok Komite Sekolah yang yang berorientasi pelanggan, pasar dan selalu menyuntikkan persaingan.
  2. Melalui uraian di atas, nampak dengan jelas bahwa birokrasi sekolah sama sekali tidak melaksanakan 10 prinsip mewirausahakan birokrasi yang dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Mungkin hal itu dikarenaka para pejabat sekolah dan anggota Komite Sekolah belum mengetahuinya. Oleh karena itu perlu diperkenalkan dan disosialisasikan kepada mereka prinsip-prinsip dimaksud. Bila mereka sudah mengetahui, tetapi belum melaksanakan, maka mereka perlu diingatkan, didorong dan dikawal dalam melaksanakan prinsip mewirausahakan birokrasi. Pada akhirnya, perlu diadakan birokrasi yang efesien dalam mewujudkan tujuan Sekolah Menengah Atas, untuk dirasakan kebutuhan untuk melakukan gerakan secara menyeluruh untuk melaksanakan prinsip-prinsip mewirausahakan birokrasi.
6) Daftar Pustaka

Daftar Pustaka berisi bahan bacan yang menjadi acuan dalam menentukan dan membahasas masalah. Daftar Pustaka selalu dimulai dengan menulis nama penulis dan pengarang buku, kemudian judul buku, nama penerbit, Kota penerbit dan tahun penerbitannya. Penulisan daftar Pustaka memiliki norma tersendiri, yang tergambar pada contoh di bawah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Albrow Martin. 2005. Birokrasi. PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. C.E. Beeby. 1981. Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Pelaksanaan. LP3ES, Jakarta,

David Osborne dan Ted Gaebler. 2000. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik, diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

H. Subandi Al. Marsudi. 2001. Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Jacqueline Charbaud. 1984. Mendidik dan Memajukan Wanita. Gunung Agung, Jakarta.

b. Artikel

Menurut Wahyu Wibowo (2006) artikel adalah tulisan atas nama pribadi, yang ciri khasnya memang mencantumkan nama pribadi penulisnya, di dalam media massa cetak. Artikel adalah tulisan berbentuk ringkas, padat yang ditulis dalam media massa cetak berdasarkan opini penulisnya dengan tujuan menerangkan, menjelaskan atau memberitahukan pembacanya akan sesuatu hal. Artikel dalah tulisna atas nama pribadi yang ditulis di media massa cetak, dengan ciri-ciri:
  1. Ekspositoris - argumentatif (menjelaskan dan disertai argumentasi).
  2. Berpeluang mendatangkan pencerahan.
  3. Topiknya dipicu dari hal yang aktual.
  4. Mencerminkan pantulan pribadi penulisnya.
  5. Memecahkan persoalan.
  6. Bentuknya ringkas dan padat.
  7. Gaya dan nada penulisannya kebanyakan tegas, lugas dan serius.
Artikel Antropologi tulisan seseorang mengenai masalah-masalah aktual Antropologi, yang mencantumkan nama pribadi penulis dan dimuat di surat kabar (media massa). Artikel adalah sarana yang efektif dan efesien dalam mengkomunikasikan hasil studi Antropologi kepada masyarakat.

Disebut efektif karena dengan menulis artikel, dapat dipastikan bahwa banyak orang yang membacanya dan mengetahui hasil studi antropologi. Disebut efesien karena dengan satu kali menulis artikel, hasil studi Antropologi dapat dikomunikasikan secara luas kepada masyarakat, tidak perlu pergi keberbagai tempat dan berbicara kepada banyak orang, tulis satu kali artikel dan pasti banyak orang yang membacanya. Sangat efesienkan?

Menurut Wahyu Wibowo, (2006) secara teoritis struktur artikel terdiri atas teras (lead), tubuh (body) dan penutup (ending). Seperti halnya dengan makalah, teras beris kalimat pembukaan dapat berisi latar belakang singkat untuk membawa pembacanya memasuki pokok permasalah. Tubuh berisi uraian mengenai permasalahan, penyebab dan akibatnya. Penutup berisi kesimpulan dan jalan keluar yang ditawarkan. Artikel tidaklah sepanjang lebar makalah, artikel jauh lebih singkat, padat dan langsung menuju sasaran. Dapat menggunakan cara berpikir deduktif maupun induktif, dapat juga menggunakan studi kuantitatif maupun kualitatif. Syarat-syarat yang sebaik dipenuhi dalam menulis artikel adalah:
  1. Keharmonisan atau kesimbangan antara gagasan (konsep) dan struktur bahasa yang dipakai, menentukan efektif tidak sebuah kalimat, ciri-cirinya subjek dan prediketnya jelas; tidak mengandung subjek ganda, dan cermat dalam menggunakan kata sambung.
  2. Kepararelan yaitu kesejajaran atau kesederajatan unsur pembentuk kata atau klausa yang digunakan dalam kalimat.
  3. Ketegasan yaitu upaya sipenulis dalam menonjolkan gagasan baru dan ide pokok kalimatnya. Tujuannya, memberi ketegasan bahwa ide pokoknya itu merupakan sesuatu yang penting diketahui pembaca. Tunjukkan ide pokok dengan menuliskannya di awal kalimat, gunakan rumus dimana, siapa, kapan, mengapa, apa dan siapa. Urutkan kejadi secara logis, lakukan pengulangan kalimat yang ingin ditegaskan dan lakukan pertentangan terhadap ide yang ditegaskan itu.
  4. Kehematan yakni tidak menggunakan kata, frase atau bentuk lain yang dianggap tidak diperlukan.
  5. Kecermatan, yakni cermat menggunakan kata-kata dalam kalimat, sehingga kalimat tersebut tidak menimbulkan tafsir ganda.
  6. Kelogisan yakni logis dalam megemukakan ide kalimat. Contoh kalimat tidak logis: "Untuk mempersingkat waktu, marilah kita teruskan acara ini dengan mengundang kehadiran Bapak Kepala Bidang ke atas podium". (seharusnya, "untuk menghemat waktu", karena waktu tidak dapat dipersingkat.
  7. Kevariasian, gunakan kata dan kalimat secara bervariasi, jangan monoton. (Wahyu Wibowo, 2006).
Untuk melengkapi pemahaman yang menyeluruh terhadap artikel, berikut ini dikutipkan satu contoh artikel dari buku "berani menulis artikel" karya Wahyu Utomo yang diterbitkan tahun 2006.

Contoh artikel :

Makin jelas Cina sejak eranya Deng Xiaoping (1980) dengan keterbukaan kawasan Timur, tidak mau sembarangan didikte oleh Amerika Serikat. Ketegasan itu makin nyata oleh penerusny, yakni Ziang Zemin / Zhu Rongji (1992-2002, dan kini generasi keempat kepemimpinan Hu Jintao / Wen Jiabao. Mentor dari Ziang / Zhu dan Hu / We sejak 1980-an adalah Deng Xiaoping. Deng Xiaoping merintis Cina baru yang sangat berbeda dengan Cinanya Mao Zedong (1949-1976). Eranya Mao dikenal sebagai era tertutup konfrontatif terhadap Amerika Serikat dan dunia luar yang tidak sepaham Mao. Era Tirai Bambu kurang disukai oleh dunia luar (termasuk saya sebagai pemerhati ekonomi/bisnis Cina), karena kurangnya informasi yang mengalir ke luar tirai itu. Pada zaman Mao, AS dengan gencar menjelek-jelekkan Cina dari luar, melalui susunan komunikasi pers maupun radio (waktu itu belum ada TV).

Ketika Deng Xiaoping muncul tahun 1982 sebagai pemimpin Cina dan secara praktis memegang tapuk pimpinan Pemerintahan Cina, sebagian besar pemerhati di dalam maupun di luar Cina mulai menyadari kehebatan visi Deng. Proses yang digeluti dan para murid-muridnya memakan waktu dan tidak selalu mulus. Termasuk pengagum Deng adalah Dr Mahathir Mohamad (PM Malaysia, 1981-31 Oktober 2003), yang tanpa tedeng aling-aling dan terus terang menyampaikan kekagumannya sebagaimana terungkap dalam "Globalization With Common Development" (APEC CEO Summit in Shanghai, 21 Oktober 2001). Di situ dikatakan antara lain, "Tanpa ragu patut dinyatakan bahwa salah seorang tokoh abad ke - 20 adalah Deng Xiaoping, Bapak Empat Modernisasi Cina. Jelas pula tanpa ragu patut disebut bahwa dua dari pernyataan bijaksananya harus senantiasa ada dalam barisan utama pemikiran kita saat berbicara mengenai isu besar masa kinikita." (Sumber: Bob Widyahartono, "Cina yang Berani Berkata Tidak", Suara Pembaruan, 07/11/03; h.9).

c. Karya Foto

Karya foto adalah pengabadian peristiwa dan momen-momen penting dalam kehidupan manusia melalui kamera yang menghasilak foto-foto tiga dimensi. Foto mewakili sejuta tulisan dan ungkapan yang mengambarkan kehidupan kehidupan dan kebudayaan manusia. Berbeda dengan makalah dan artikel yang membutuhkan sangat banyak untaian kalimat, karya foto hanya memerlukan beberapa kata untuk mempertegas tema dan makna foto untuk memberikan pemahaman karya foto kepada para penikmatnya.

Tujuan karya foto adalah mengabadikan momen dan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Pada masa yang akan datang foto-foto ini akan sangat berguna untuk mendeskripsikan kehidupan yang diwakilinya. Mausia yang melihatnya akan memperoleh gambaran mengenai kehidupan yang diwakili oleh gambar itu. Satu foto mewakili seribu bahasa dan kalimat. Salah satu keunggulan foto adalah kesanggupannya menampilkan gambaran kehidupan manusia dengan jujur dan penuh warna, hal ini terkadang tidak mampu diwujudkan melalui makalah dan artikel.

Pemahaman terhadap kota-kota tua di Indonesia akan lebih mudah diperoleh dengan melihat foto-foto kuno dari membaca banyak makalah dan artikel tentang kota tua itu. Gambaran yang utuh mengenai sesuatu yang tidak dikenal lebih mudah diperoleh melalui foto dari pada melalui banyak kalimat yang berusaha menggambarkannya. Untuk memperoleh foto yang baik diperlukan teknik memfoto yang baik dengan memperhatikan tata cahaya yang tepat.

Makalah dan artikel bersifat subyektif, karena bagaimanapun ketika sang penulisnya memaparkan ide dan pokok masalah, sudah pasti sangat dipengaruhi oleh pendapat dan opininya serta rasa sikapnya terhadap masalah yang dibicarakan. Berbeda dengan karya foto yang hanya menampilkan objek yang difoto, betapa sukanya juru foto terhadap sebuah objek foto, tetaplah ia menunjukkan sosok aslinya, alami dan apa adanya. Oleh karena itu salah satu kelebihan karya foto dari dari makalah dan artikel adalah keobjektifannya.

Makalah dan artikel bersifat jujur, tetapi karena adanya suatu kepentingan bisa saja apa yang dianggap jujur itu dirangkai dari berbagai kebohongan yang saling berkaitan untuk mempertegas kejujuran palsu. Lain halnya dengan karya foto yang hanya menampilkan gambaran objek yang difoto menurut apa adanya, karya foto mengabadikan objeknya secara jujur dan apa adanya.

Rangkuman :

1. Materi yang menjadi bahan studi Antropologi diantaranya:

a. Etnografi yaitu gambaran tentang bangsa-bangsa, melukiskan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa.
b. Etnologi yaitu ilmu bangsa-bangsa yang mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan sejarah
perkembangan kebudayaan manusia.
c. Cultural antropology yaitu ilmu yang mempelajari peradaban manusia dengan fokus utama pada kebudayaan.
d. Phicycal Anthropology adalah bagian dari Antropologi yang mempelajari sejarah terjadinya keanekaragaman manusia berdasarkan perbedaan ciri-ciri fisik tubuh manusia.

2. Tujuan dari studi Antropologi yaitu untuk membuat kehidupan manusia lebih aman, tenteram, sejahtera dan modern. Tujuan akhir dari studi Antropologi adalah mempergunakan hasil studi tersebut untuk membuat hidup manusia lebih baik dan mudah bila diabndingkan dengan masa-masa sebelumnya.

3. Hasil studi Antropologi antara lain teori-teori Antropologi yang meliputi: teori evolusi kebudayaan, teori difusi kebudayaan, teori fungsional, teori akulturasi.

4. Tipe studi antropologi yaitu studi kualitatif dan kuantitatif.

Anda sekarang sudah mengetahui Etnografi. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Indriyawati, E. 2009. Antropologi 1 : Untuk Kelas XII SMA dan MA. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 194.

Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta.

Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XII. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 240.

Yad Mulyadi. 1999. Antropologi. Depdikbud, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar