Selasa, 05 Februari 2013

Seni Rupa, Seni Ukir, Kerajinan, Pengertian, Contoh, Perkembangan, Macam-macam

Artikel dan Makalah tentang Seni Rupa, Seni Ukir, Seni Kerajinan, Pengertian, Contoh, Perkembangan - Selain seni patung, seni rupa Indonesia juga menghasilkan seni kerajinan yang memiliki manfaat dalam kehidupan sehari-hari. 

A. Seni Ukir

Seni ukir diartikan sebagai ragam hias yang bersifat kruwikan, buledan, sambung-menyambung, dan merupakan bentuk lukisan yang indah. Bertolak dari pengertian tersebut, maka seni ukir sebenarnya adalah hasil suatu gambaran yang dibuat oleh manusia pada suatu permukaan yang dikerjakan sedemikian rupa dengan alat-alat tertentu sehingga permukaaan yang asal mulanya rata menjadi tidak rata (kruwikan dan buledan). Dengan demikian ciri utama suatu ukiran adalah membuat suatu permukaan menjadi tidak rata.

1) Latar Belakang Seni Ukir di Indonesia

Kehadiran seni ukir di Indonesia sebenarnya telah tumbuh pada zaman purba ketika kesenian Indonesia menerima unsur-unsur seni Hindu. Dalam perkembangan waktu yang cukup lama, seni ukir menjadi milik bangsa Indonesia dan diwujudkan dalam mengisi dinding-dinding arsitekturnya. Hal ini dapat dilihat pada seni bangunan percandian yang memiliki karya-karya batu ornamentik yang indah.

Menurut Van den Berg dan Kroskamp, seni arca berasal dari bangsa Hindu, tetapi mereka mengatakan bahwa yang membuat candi dan arca di Dieng adalah orang Jawa sendiri. Seniman tersebut menciptakan bangunan di Dieng berdasarkan pengetahuan dari guru-guru mereka yang berasal dari India. Dengan demikian seni bangunan dan seni arca yang ada di Indonesia mempunyai corak tersendiri sebagai hasil dari kreativitas orang Indonesia.

Usaha pemeliharaan dan pengembangan seni ukir klasik ini dipertahankan terus dari bentuk serta keindahannya, sehingga mencapai puncak perkembangannya pada zaman keemasan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari berita perjalanan Hayam Wuruk yang ditulis oleh pujangga Prapanca yang berbunyi antara lain, bahwa dalam perjalanan tersebut Hayam Wuruk telah mengunjungi beberapa tempat suci seperti candi Penataran yang didirikan di lereng gunung Kelud. Pada dinding candi tersebut terdapat relief tokoh pewayangan dan juga banyak arca yang indah.

Sejalan dengan masa suramnya kerajaan Majapahit, berkembanglah agama Islam serta peradabannya di Jawa, khususnya di pantai utara Jawa. Bila pertumbuhan seni ukir diawali dengan masuknya agama Hindu di Jawa, maka berkembangnya seni ukir seiring dengan berkembangnya kebudayaan Islam yang berpusat di kesultanan Demak melalui proses akulturasi. Walaupun kerajaan Majapahit mengalami masa surut, namun tidak berarti membawa runtuhnya seni hias klasik di Jawa, bahkan ia merupakan awal dari perkembangan baru kebudayaan zaman madya dengan bentuknya yang khusus terutama adanya pengaruh agama Islam.

Dalam banyak hal kebudayaan Islam memang sangat berpengaruh terutama dalam pelarangan mewujudkan bentuk-bentuk figur ataupun makhluk hidup dalam setiap unsur ukiran. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya bentuk-bentuk yang telah distilir dari makhluk hidup tersebut. Pengaruh Islam juga menyebabkan seni patung tidak berkembang di Jepara, sehingga terjadi perbedaan yang nyata antara perkembangan seni ukir di Jepara dengan seni ukir yang berkembang di Bali.

Berikut ini disajikan contoh-contoh visual gaya seni ukir yang berkaitan dengan aneka ragam motif hias dan gaya mebel ukir yang berkembang di Jepara.

2) Jenis-Jenis motif Hias

a) Motif hias percandian
Relief di Prambanan
Gambar 1. Relief di Prambanan menampilkan Shinta tengah diculik Rahwana yang menunggangi raksasa bersayap, sementara burung Jatayu di sebelah kiri atas mencoba menolong Shinta. (Wikimedia Commons)
b) Motif hias kedaerahan
motif hias Majapahit, Pajajaran, Bali, Surakarta, Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Jepara, Madura, dan Mataram
Gambar 2. motif hias Majapahit, Pajajaran, Bali, Surakarta, Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Jepara, Madura, dan Mataram.

Beberapa bentuk kerajinan adalah seni anyam, tenun, tembikar, kerajinan kayu,hingga seni sesaji.

1) Seni Anyaman

Seni anyaman adalah kerajinan kesukuan yang umumnya dilakukan penduduk pedesaan di Indonesia. Kerajinan itu, telah menyatu dengan kegiatan keseharian masyarakat tradisional dalam menghasilkan barang keperluan sehari-hari. Seni mengayam tidak memerlukan peralatan yang rumit dan bahannya ditemukan berlimpah di desa.

Tabel 1. Hasil-Hasil Seni Anyam di Indonesia

No.
Hasil Anyaman
Keterangan
1.
Tikar
Terbuat dari rotan, sisal dan pandan. Berbagai tikar ditemukan di Jawa, Bali, Lombok, Madura, dan Kalimantan.
2.
Tas
Ditemukan di seluruh wilayah Nusantara. Di Jawa, tas anyaman telah menjadi industri rakyat.
3.
Topi
Bentuk topi yang luar biasa adalah tilangaa yang berpinggir lebar karya orang Rote.
4.
Puan
Berguna sebagai penyimpan sirih, berkembang di Kalimantan Tengan dan Kalimantan Timur.
5.
Tempat air
Terbuat dari daun tal yang direntangkan dengan lidi. Tempat air semacam ini ditemukan di Pulau Rote.
6.
Alat musik
Sesandu terbuat dari bambu dengan kotak resonan daun tal. Sesandu ditemukan di Pulau Rote dan Timor.
Sumber: Indonesian Heritage: Seni rupa, halaman 29

2) Tembikar

Indonesia memiliki kekayaan tradisi pembuatan tembikar sejak masa prasejarah. Tradisi itu telah memenuhi kebutuhan masyarakat atas perkakas sehari-hari dan benda-benda upacara. Desa tembikar tradisonal ditemukan di seluruh Indonesia kecuali di Papua.

3) Kerajinan Kayu

Persediaan kayu yang melimpah di Indonesia sejak dahulu kala menyediakan bahan mentah bagi kerajinan kayu. Di antara barang-barang kerajinan kayu yang penting dalam kehidupan sehari-hari adalah perabot rumah tangga, benda penghias, dan benda pelengkap.

Anda sekarang sudah mengetahui Seni Ukir dan Seni Kerajinan. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Dyastriningrum. 2009. Antropologi : Kelas XII : Untuk SMA dan MA Program Bahasa. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 90.

Lestari, P. 2009. Antropologi 2 : Untuk SMA dan MA Kelas XII. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar