Artikel dan Makalah tentang Perkembangan Seni Rupa, Sastra, dan Pertunjukan Pada Masa Penjajahan Belanda - Pada masa pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Indonesia segala seuatu yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah Belanda. Demikian halnya dengan perkembangan seni, pemerintah kolonial Belanda memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mewujudkan apresiasi seni sepanjang menguntungkan bagi kelangsungan kekuasaan penjajah.
1) Perkembangan seni rupa pada masa penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda perkembangan seni rupa, khususnya seni lukis memperoleh angin segar. Pada masa VOC, pemerintahan Heeren XVII mengeluarkan peraturan yang sangat menguntungkan bagi perkembangan seni lukis di Indonesia. Isi peraturan tersebut, yaitu setiap kapal yang melakukan ekspedisi pelayaran ke Indonesia harus menyertakan pelukis-pelukis atau juru gambar (teekenaars). Di samping memenuhi keinginan VOC, para juru gambar itu pun menggunakan kesempatan berkunjung ke Indonesia untuk mengembangkan kreativitasnya dalam melukis.
Di antara karya lukisan terkenal yang dihasilkan pada saat itu, antara lain:
a) “Iringan Pengawal Seorang Pangeran Banten” yang dibuat pada tahun 1596.
b) “Delegasi Diplomatik Pembawa Surat untuk Sultan Ageng Tirtayasa” yang dibuat pada tahun 1673.
Lukisan-lukisan tersebut sampai sekarang masih tersimpan dengan baik di museum Belanda. Menjelang pecah Perang Dunia II, beberapa pelukis Belanda datang ke Indonesia, antara lain Wolter Spies, Rudolf Bonnet, dan Niewenkamp.
Kedatangan mereka sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni lukis Indonesia terutama dalam hal gaya-gaya lukisan yang dianut pelukis Eropa tersebut, misalnya aliran Kubisme, Ekspresionisme, Surialisme atau Simbolisme. Adapun pelukis-pelukis terkenal dari Indonesia pada masa penjajahan Belanda, antara lain Affandi, R. Saleh, dan Basuki Abdullah.
Terbukanya peluang bagi seniman lukis untuk berkarya pada masa VOC berkuasa, memunculkan semangat para seniman lukis muda untuk membentuk perkumpulan yang menampung kegiatan melukis.
Pada tahun 1935 di Bandung muncul kelompok pelukis yang dipimpin Affandi dengan nama “Kelompok Lima” dengan beranggotakan Hendra Gunawan, Wahdi, Soedarso dan Barli. Secara otodidak (tanpa guru) mereka belajar melukis bersama dengan praktik menggambar langsung tanpa berbekal pengetahuan tentang anatomi maupun teknik melukis. Dengan berbekal kemampuan bakat alam, mereka berlima mempraktikkan melukis berbagai objek tanpa target tertentu. Mereka banyak melukis spanduk, membuat poster atau iklan bioskop, dan membuat reproduksi foto-foto. Hasil lukisan mereka sangat banyak peminatnya meskipun dengan otodidak. Hal itu menjadi awal perkembangan seni lukis modern di Indonesia.
Pada tahun 1937 di Jakarta terbentuk kelompok pelukis yang diberi nama Peragi (Persatuan Ahli gambar Indonesia) dengan beranggotakan Otto Djaja, Agus Dhaha, Soedjojono, Mochtar Aoin, dan Emiria Sunarsa. Perkumpulan tersebut tetap dipertahankan keberadaannya sampai Jepang masuk dan menguasai Indonesia. Bahkan pemerintah kolonial Jepang memanfaatkan perkumpulan tersebut sebagai alat propagandanya. Hal itu menjadikan pangkal tolak kebangkitan para seniman khususnya pelukis Indonesia dalam hal berekspresi. Untuk menarik simpatik kalangan seniman Indonesia, pemerintah Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan lengkap dengan sarana untuk mengembangkan seni lukis. Pada masa itu, kegiatan belajar melukis berlangsung dengan baik. Di pusat kebudayaan tersebut dibentuk tiga kelompok latihan melukis.
Masing-masing kelompok latihan tersebut dipimpin oleh Basuki Abdullah, Soebanto Soerjo Soebandrio, dan S. Soedjojono. Melalui organisasi Peragi inilah seni rupa Indonesia mengalami perkembangan.
Pada masa revolusi banyak pelukis Jakarta yang pindah ke Jogjakarta dan mendirikan sanggar-sanggar seni lukis di sana, antara lain Affandi. Pada awal kedatangan di Jogjakarta Affandi mendirikan perkumpulan “Seniman Masyarakat” kemudian berganti nama menjadi “Seniman Indonesia Muda”, dengan beranggotakan Dullah, Harjadi, S. Soedjojono, dan Abdul Salam.
Pada waktu berikutnya Affandi bersama Hendra Gunawan mendirikan sanggar “Pelukis Rakyat” dengan anggota Trubus Soedarsono, Soediardjo, Koesnadi, Setjojoso, dan Soedarso. Selanjutnya pada tahun 1947, para seniman muda, seperti Juski Hakim, Sasongko, Abas Alibasjah, Chairul Bachri, Djono Trisno, Nasir Bondan, Ali Marsaban, Edhi Soenarso dan Sutopo serta beberapa seniman muda lainnya bergabung mendirikan sanggar lukis dengan tujuan memberikan kesempatan kepada seniman-seniman muda untuk mengembangkan bakatnya. Pada waktu itu tema-tema yang diangkat dalam lukisannya berkaitan dengan semangat perjuangan serta bentuk-bentuk kebebasan berekspresi tanpa terikat pada kaidahkaidah tertentu.
Setelah era revolusi, perkembangan seni lukis di Indonesia makin menunjukkan jati dirinya sebagai bagian yang memiliki peran besar dalam membentuk kebudayaan nasional. Sekitar tahun 1970-an dunia seni lukis Indonesia mengalami masa “boom lukisan” dan mampu mengantarkan para seniman lukis Indonesia pada pintu ujian citra berkesenian mereka. Mereka dituntut untuk mampu memenuhi permintaan pasar sekaligus menguji kreativitas para seniman lukis dalam mempertahankan mutu karyanya.
Pada masa itu pula sejarah seni lukis Indonesia mencatat lahirnya sang maestro di dunia lukis Indonesia, yaitu Affandi dan Basuki Abdullah. Dengan gaya lukisannya mampu menempatkan diri pada posisinya sebagai seniman lukis yang profesional.
2) Perkembangan seni bangunan pada masa penjajahan
Pengaruh kebudayaan Eropa pada masa penjajahan terhadap kebudayaan Indonesia tidak terbatas pada seni lukis saja, pada bidang seni bangunan (arsitektur) banyak peninggalan seni bangunan bergaya Eropa bertebaran di Indonesia. Misalnya bangunan benteng, istana, rumah tempat kediaman orang-orang Belanda ataupun Portugis, dan bangunan gereja. Beberapa bangunan peninggalan masa kolonial tersebut kini banyak yang masih berfungsi sebagaimana asalnya, dan sebagian justru menjadi objek wisata budaya, misal Benteng Vredeburg, Vesting, Vestenburg, dan Verstrerking.
Gambar 1. Istana Bogor, salah satu bangunan bergaya Eropa, dibangun pada masa penjajahan Belanda berkuasa di Indonesia. (Wikimedia Commons) |
Pembangunan benteng-benteng tersebut semula diawali dengan pembangunan gudang-gudang (pakhuizen) tempat menyimpan barang-barang dagangan, yang kemudian berkembang menjadi tempat untuk melindungi diri dari serangan pihak penguasa saat itu.
Banyaknya bangunan bergaya Eropa sebagai peninggalan masa penjajahan Belanda di Indonesia merupakan hasil karya para arsitek Belanda. Arsitek Belanda yang merancang bergaya Eropa, antara lain:
a) Herman Thomas Karsten, banyak membuat rancang bangun bergaya Eropa dipadukan dengan gaya tradisional. Salah satu hasil karyanya adalah bangunan Pasar Johar di Semarang dan bangunan Museum Sonobudoyo – Jogjakarta;
b) W. Lemei, berhasil merancang bangunan kantor gubernuran di Surabaya yang terkenal dan megah;
c) Henri Mclaine Pont, memiliki keunggulan memadukan arsitektur Eropa dengan arsitektur tradisional. Ia banyak menghasilkan bangunan-bangunan gereja di Jawa, kompleks Gereja Katolik Poh Sarang, Kediri, membangun kompleks permukiman di wilayah Darmo; Surabaya dan merekonstruksi kota kuno Majapahit;
d) C. Citroen, berhasil merancang bangunan gedung “randhuis” atau kantor Balai Kota di Surabaya pada tahun 1927, beberapa bangunan rumah kediaman yang tergolong perumahan elite, serta bangunan gereja;
e) CP Wolf Schoemaker, guru Bung Karno dalam ilmu Teknik. Salah satu karya monumentalnya adalah bangunan Villa Isola yang berada di Jalan Lembang Bandung. Semula digunakan sebagai bangunan tempat tinggal, kemudian menjadi bangunan Hotel Homann dan gedung “Societeit Concordia” di Bandung.
Pengaruh seni bangunan model Eropa tetap menjadi bagian dari model arsitektur perumahan di Indonesia hingga kini. Di era tahun 1990-an, seni bangunan Indonesia marak kembali dengan model bangunan ala Spanyol. Bangunan tempat tinggal, dibuat dengan pilar-pilar penyangga di bagian depan. Beberapa bangunan real estate di kota-kota besar banyak menawarkan model perumahan dengan gaya Eropa yang berkesan megah dan modern.
3) Perkembangan seni kerajinan pada masa penjajahan
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda bidang seni kriya atau kerajinan, memperoleh kesempatan untuk berkembang. Pada waktu pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan dalam hal penyediaan alat perlengkapan bagi tentaranya karena adanya konflik dengan Inggris, maka Gubernur Jenderal Daendels yang berkuasa di Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan. Kebijakan tersebut mengenai perlunya pengembangan kerajinan rakyat di bidang pengadaan pakaian, topi, sabuk, sepatu, pakaian berkuda, dan tempat peluru. Pengembangan kerajinan rakyat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tentara Belanda.
Demikian pula pada tahun 1811, saat Raffles berkuasa, ia membuka kesempatan berbagai jenis kerajinan rakyat, antara lain pengecoran logam, seni ukir, dan batik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor.
Pada awal tahun 1888, pemerintah Hindia Belanda memulai langkah-langkah pembinaan terhadap kerajinan rakyat melalui lembaga swasta perhimpunan Hindia Belanda. Salah satunya pembinaan kerajinan dan pertanian yang dipimpin oleh Van Der Kemp dengan memberikan penyuluhan dan bantuan modal serta peralatan.
Pada tahun 1909 pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertukangan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Pemerintah Hindia Belanda juga sekolah Kerajinan ukir tanduk, anyaman, dan keramik di Ngawi, Jawa Timur.
4) Perkembangan seni sastra pada masa penjajahan
Perkembangan seni sastra pada masa penjajahan di Indonesia berawal saat pemerintah Hindia Belanda mengizinkan pendirian sekolah-sekolah dan mengizinkan penduduk pribumi (meski hanya kalangan terbatas) untuk mengenyam pendidikan (meski terbatas pada tingkat tertentu saja).
Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan politik etis, khususnya dalam bidang pendidikan telah membuka kesadaran masyarakat dalam bidang membaca dan menulis. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai terbitan surat kabar berbahasa Melayu yang ada di Jakarta maupun kotakota besar lainnya. Surat kabar berbahasa Melayu, antara lain:
a) surat kabar Bintang Timoer, terbit di Surabaya, tahun 1862;
b) surat kabar Pelita Ketjil, terbit di Padang, tahun 1882;
c) surat kabar Bianglala di Jakarta dan surat kabar Medan Prijaji di Bandung yang terbit pada tahun 1867.
Melalui surat kabar inilah para cerdik cendekiawan pribumi menuangkan berbagai gagasan buah pikirannya. Beberapa cerita bersambung maupun cerita roman, baik yang ditulis dalam bahasa Melayu maupun bahasa Belanda terbit menghiasi surat kabar tersebut. Beberapa karya sastra dalam bentuk cerita bersambung atau roman pada waktu itu, antara lain:
Gambar 2. Sampul depan novel Max Havelaar cetakan ke-5 (1881) karya Multatuli. (WIkimedia Commons) |
a) Hikayat Siti Mariah, karangan H. Mukti, merupakan cerita bersambung yang melukiskan kehidupan sehari-hari;
b) Boesono dan Nyai Permana, karangan Raden Mas Tirto Adhisuryo, merupakan cerita roman;
c) beberapa karangan mas Marco Martodikromo, berjudul: Mata Gelap (1914), Studen Hidjo (1919), Syair Rempah-Rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Karangan mas Marco Martodikromo ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikategorikan sebagai “bacaan liar”, karena berisi hasutanhasutan untuk memberontak;
d) Edward Douwes Dekker, seorang pengarang bangsa Belanda yang menggunakan nama samaran Multatuli menerbitkan karya sastranya yang berjudul “Max Havelaar”. Buku tersebut menggambarkan penderitaan masyarakat pribumi di bawah kekuasaan pemerintahan penjajah Belanda. Tulisan tersebut dibuat berdasarkan pengalamannya saat bertugas di Indonesia, sebagai asisten residen Lebak, Banten tahun 1856; e) Pada tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan “commissie voor de Inlandsche school de volkslectuur” atau Komisi Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka yang bertugas memeriksa dan mencetak naskah-naskah cerita rakyat yang ditulis dalam bahasa daerah. Perkembangan berikutnya komisi tersebut juga menerbitkan kisah kepahlawanan orang-orang Belanda dan cerita-cerita kuno Eropa;
f) Pada tahun 1914, Balai Pustaka menerbitkan roman pertama dalam bahasa Sunda berjudul: “Beruang ka nu Ngarora” artinya Racun Bagi Kaum Muda pengarangnya D.K. Ardiwinata;
g) Pada tahun 1918, Balai Pustaka menerbitkan karya saduran Merari Siregar yang berjudul cerita Si Jamin dan si Johan, disadur dari karya J. Van Maurik. Selain itu Merari Siregar juga mengarang buku roman “Azab dan Sengsara”, merupakan roman pertama berbahasa Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1920. Roman tersebut mengkritisi adat kawin paksa yang berlangsung pada masa itu;
h) Pada tahun-tahun berikutnya muncul beberapa roman yang menyoroti tema kawin paksa, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, antara lain:
• Siti Nurbaya, karangan Marah Rusli (1922);
• Muda Teruna, karangan Muhammad Kasim (1922);
• Karam Dalam Gelombang Percintaan, karya Kedjora (1926);
• Pertemuan, karya Abas Sutan Pamuntjak (1928);
• Tjinta Membawa Maut, karya Abdul Ager dan Nursiah Iskandar (1926);
• Darah Muda, karya Adi Negoro (1927);
• Asmara Djaja, karya Adi Negoro (1928);
• Salah Asuhan, karya Abdul Muis (1928).
5) Perkembangan seni pertunjukan pada Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda perkembangan seni pertunjukan, khususnya seni drama modern diawali dengan adanya kelompok teater keliling “Teater Bangsawan” pada tahun 1870 yang berasal dari Penang, Malaysia. Saat mengadakan pentas di Jakarta rombongan tersebut bubar dan semua peralatannya dibeli oleh Jaafar yang kemudian membentuk rombongan baru yang dinamainya” Stamboel “. Di Deli, Sumatra utara telah berdiri teater Indera Ratoe Opera. Beberapa perkumpulan seni pertunjukan yang muncul di era penjajahan Belanda, antara lain:
a) di Surabaya muncul perkumpulan teater bernama Komedi Stamboel yang didirikan oleh August Mehieu, seorang peranakan indo – Perancis, dan didukung dana oleh Yap Goam Tay dan Cassim, bekas pemain teater Indera Bangsawan;
b) di lingkungan masyarakat keturunan Cina pada tahun 1908 mendirikan “Opera Derma” atau “Tjoe Tee Hie”, kemudian tahun 1911 muncul perkumpulan teater “Tjia Im”, “Kim Ban Lian”, Tjin Ban Lian” yang kemudian muncul kelompok teater paling terkenal adalah “Orion” atau “Miss Riboet’s Orion” dengan bintang panggungnya yang bernama Miss Riboet;
c) di Surabaya pada tanggal 21 Juni 1926, Willy Klimanoff, seorang Rusia kelahiran Surabaya mendirikan rombongan sandiwara keliling “Dardanella” yang sangat terkenal. Teater tersebut didukung bintang panggung Tan Tjeng Bok (kemudian menjadi bintang film terkenal) dan berhasil mengadakan pertunjukan keliling ke Cina, Burma, dan Eropa, kemudian bubar;
d) Perdro dan Dja, bekas anggota Dardanella mendirikan kelompok “Bolero”;
e) Fifi Young dan Nyoo Cheong, juga bekas anggota Dardanella mendirikan rombongan baru yang dinamainya “Fifi Young’s Pagoda” pada tahun 1936;
f) pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942 muncul teater Bintang Surabaya yang dipimpin oleh Fred Young dengan anggota para bekas bintang-bintang Dardanella, yakni Tan Tjeng Bok, Astaman, Dahlia, Ali Yogo, dan Fifi Young;
g) pada tahun 1943, bermunculan rombonganrombongan teater, seperti Dewi Mada pimpinan Ferry Kok dan isterinya Dewi Mada, teater Warna Sari pimpinan Dasaad Muchsin, dan teater Irama Masa pimpinan Ali Yogo. Semua teater tersebut menggunakan bahasa Indonesia;
h) Berikutnya muncul teater-teater baru yang menggunakan bahasa daerah, antara lain Teater Miss Tjitjih pimpinan Abubakar Bafakih yang menggunakan bahasa Sunda, Sandiwara Wargo pimpinan Suripto menggunakan bahasa Jawa, dan seorang tokoh teater bernama Tio Jr membentuk teater Miss Riboet di Solo.
Anda sekarang sudah mengetahui Perkembangan Seni Rupa, Sastra, dan Pertunjukan Pada Masa Penjajahan Belanda. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Indriyawati, E. 2009. Antropologi 1 : Untuk Kelas XII SMA dan MA. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar